Dr. Safari Daud, S.Ag, M.Sos.I. dok.Pikiran Lampung |
Sebelum mendiskusikan takaran koalisi ini, lanjutnya, terlebih dahulu harus diketahui bahwa pilkada Jakarta sudah menunjukkan pilihan masyarakat yang sangat independen. “Membuat polarisasi antara rasional dan emosional dalam pilihan masyarakat menjadi tidak relevan apabila belajar dari kasus Pilkada putaran pertama,”jelasnya. Artinya, kata pria asli Aceh ini, semua pilihan politik yang berlaku dalam masyarakat dapat dibenarkan dan diakui secara undang undang. Maka, lanjutnya, konsekwensi logis dari itu pilihan atas tindakan rasional, atas pertimbangan normatif agama atau sisi sosiologis dan psikologis memungkinkan terjadi pada dua calon yang akan bertarung. “Saya mengatakan, dua calon tersebut berpotensi didukung secara rasional dan emosional. Belum tentu pendukung Ahok Rasional, dan belum tentu juga pendukung Anis emosional. Begitu juga sebaliknya,”tegasnya.
Belajar dari putaran pertama, kata dia, dimana Ahok pada putaran pertama didukung oleh Nasdem, PDIP dan Golkar. Anis didukung oleh Gerindra dan PKS, serta Agus Silvi didukung oleh Demokrat, PPP, PKB dan PAN. Aliran politik patut juga diperhatikan. Apabila dilihat dari segi aliran, Kategori aliran nasionalis lebih banyak berada pada posisi Ahok. Anis berada dalam dukungan partai nasionalis dan religius. Begitu juga Agus Silvi mendapat dukungan nasionalis dan religius.
“Terkait dengan aliran nasionalis dan religius ini saya ingin mengatakan dua hal. Pertama, aliran nasionalis dan religius itu ada dalam partai politik, tidak bisa ditutup ditutupi, jadi bukan hal yang tertutup (hidden). Kedua, variasi nasionalis dan religius secara pemetaan masih membutuhkan penelitian yang serius dan rinci,”paparnya. Seperti, lanjutnya, bagaimana membedakan visi nasionalisme antara PDIP, Golkar dan Gerindra dan Demokrat, walaupun secara historis terjawab pada akumulasi dan aktualisasi politik,”jelasnya.
Sedangkan aliran religius Islam, sebagai penggiat studi Islam, Safari Daud berpendapat membuat hipotesis kasar. Bahwa secara historis ini adalah warisan politik Indonesia dari sejak lahirnya, dan secara sosologis juga terkait dengan hubungan Islam Indonesia dan model Islam Timur Tengah.
“Atas hipotesis yang saya bangun tersebut, PAN dapat bertemu dalam wawasan keislaman dan filantropis, namun akan berbeda dalam wawasan kebangsaan dengan PKS. PPP dan PKB tidak mempunyai perbedaan yang prinsip dengan PAN tetapi mempunyai garis pemisah yang tajam dengan PKS. Sekali lagi, ini membutuhkan penelitian yang rinci untuk menghindari impian “persatuan semu” tetapi lebih kepada persatuan yang bersifat hakiki. Dilihat dari segi ini, secara politik, maka peluang kelompok religius terdapat pada Ahok, dan sampai saat ini belum terisi,”jelasnya. Sedangkan pada kelompok Anis, lanjutnya, adanya PKS sebagai pengusung memberi hambatan psikologis bagi partai partai religius lainnya. Dilihat dari segi ini, kecerdasan Ahok sangat dibutuhkan untuk mendekati kelompok religius dan memperbaiki stigma yang melekat padanya tentang adanya jarak dengan kelompok Islam. “Di pihak Anis, ini dibutuhkan strategi untuk memecah kebekuan kelompok Islam yang ada di PPP, PKB, dan PAN dengan PKS,”jelasnya.
Selain permasalah di atas, kata Safari, permasalahan lainnya adalah apakah kontrak koalisi Demokrat, PPP, PKB dan PAN di mana SBY menjadi tokoh penjadi menjadi “kontrak mati”. “Kalau ini yang terjadi maka SBY menjadi tokoh penting yang harus didekati oleh Ahok dan Anis. Kalau kontrak dengan SBY bersifat luwes, dan hanya sepakat dalam hal kemenangan Agus Silvi, bisa terjadi dua hal : Pertama, masing masing partai akan bergerak dengan kalkulasi masing masing; dan yang kedua, pola pilres 2014 akan terjadi dalam pilkada putaran kedua ini, antara Megawati dan Prabowo, dua arus besar ini kembali akan bertarung,”jelasnya. Tentunya, ujar pria penikmat kopi ini, faktor Presiden Jokowi di sini penting, walaupun dalam hal ini Presiden Jokowi memainkan politiknya secara cerdas. “Akhirnya, memang kita harus menunggu kebenaran takaran ini,”pungkasnya.(wawan)
Post A Comment: