Dr.Safari Daud. S.Ag, M.Sos.I.foto dok pribadi
Tentang Kegundahan mantan Presiden
Penulis: Dr.Safari Daud. S.Ag, M.Sos.I
(Dosen IAIN Radin Intan Lampung)

Yth. Tuanku Paduka 
Presiden RI
Jenderal Soeharto
Assalamua'laikum Wr. Wb.
Pertama sekali, lewat surat ini, izinkan saya menyampaikan salam hormat saya. Mudah mudahan paduka yang mulia selalu sehat dan berada dalam lindungan Allah Swt. Doa saya juga, mudah mudahan paduka terus diberikan kekuatan untuk melanjutkan keberlangsungan negeri ini.
Paduka yang mulia, surat ini adalah surat saya yang kedua. Dalam surat pertama saya, tentunya paduka sudah mafhum, saya menitipkan nasib kebaikan anak anak saya ke depan. Saya berharap situasi nasib anak saya ke depan, tidak berkaitan dengan kegiatan politik saya selama ini.
Paduka yang mulia
Surat saya yang kedua ini, saya sampaikan secara bersahabat dan sebagai bentuk kegelisahan saya sebagai mantan Presiden dalam hari hari terakhir saya ini. Atas hal tersebut, izinkan saya memanggil nama Paduka dengan nama yang karib dengan telinga saya. Nama persahabatan tersebut adalah Harto. Aku sering menyebut namamu ini dalam sidang sidang kabinet terakhirku, walaupun kamu sering tidak hadir dalam sidang, aku dapat memakluminya. Ya, Harto, sebuah nama yang sering kusebut "kopig" , sebuah istilah Belanda yang artinya keras kepala. Tapi bagiku Harto, bukan itu maksudnya, aku memahaminya sebagai sebuah kekaguman, sembari aku mengatur waktu untuk "mengulur" dan menunggu kepastian kesetiaanmu kepadaku waktu itu.
Harto, kamu pasti tahu kepergianku ke Bogor juga atas permintaanmu, sampai saat ini, keberadaanku di Wisma Yaso juga bentuk kepatuhanku atas kebijakan politik pemerintah.
Harto, kamu pasti tahu, saat saat terakhir kejatuhanku sebagai Presiden yang ditandai dengan final penolakan terhadap pidatoku Nawaksara kemudian dilanjutkan dengan penolakan terhadap pelengkap Nawaksara. Dan saat itu juga MPRS mencabut mandatku sebagai mandataris. Maka berakhirlah segala bentuk kekuasaanku. Kamu tahu Harto, aku menolak anjuran perlawanan fisik secara militer dan apalagi melibatkan konflik horizontal antar masyarakat. Bagiku Harto, keutuhan bangsa ini jauh lebih penting dari sekedar aku menjadi Presiden.
Harto, sudahlah, kita tak usah bicarakan politik lagi. Walaupun jalan kita berbeda, tetapi aku yakin, kamu juga punya niat yang sama untuk memajukan negeri ini. Tapi dalam surat ini Harto, aku mengeluhkan keadaanku sekarang. Kondisi batinku yang tersiksa, tentang hilangnya kebebasanku yang merupakan kebebasan yang sama sama kita perjuangkan dari penjajah. Kesehatanku juga memburuk Harto, aku butuh dokter yang mengerti penyakitku, aku butuh makanan yang sesuai dengan kesehatanku. Aku butuh keluarga yang setiap hari menjagaku Harto. Sebagai manusia, aku juga butuh pelesiran, hasrat bertemu teman, melihat kota Jakarta dan juga melihat lihat desa desa di negeri kita Harto.
Baiklah Harto, aku menerima keputusanmu untuk tidak berpolitik. Tapi jangan kau cabut hak hak dasarku sebagai manusia. Berikan aku kebebasan sebagai manusia biasa. Aku bukan Belanda Harto, bukan Jepang bukan juga nekolin Amerika. Saat ini aku adalah bagian kecil rakyat Indonesia yang pernah berjuang. Aku butuh hak hakku sebagai rakyat Harto.
O ya Harto, kemarin Hatta mengunjungiku. Kamu tahu kan Hatta, teoritis yang jujur dan bersemangat. Aku pernah dapat informasi, dia menolak ke Sumatra untuk melawanku, dia tidak mau menjadi pendiri yang berakhir dengan jiwa pemberontak. Dia berbeda denganku, tetapi dalam politik bangsa, dia setia denganku. Maka aku pernah marah besar Harto, ketika teks proklamasi yang dibacakan Aidit tidak menyebutkan nama Hatta. Bagiku Hatta adalah sejarah Dwi tunggal bangsa ini.
Harto, aku hanya bisa menangis di depan Hatta. Hatta kulihat juga menitikkan air mata, mungkin sebagai bekas wakil presiden nasib dia lebih baik dariku. Aku juga belum bisa membayangkan, bagaimana nasibmu nanti ketika menjadi mantan Presiden.
Harto, apakah memungkinkan seandainya mantan Presiden kalau meninggal dunia dimakamkan di Jakarta. Kalau dia diangkat di Jakarta, maka jejaknya juga ada di Jakarta. Bagiku ini penting Harto, kelak anak cucu kita ketika ke ibukota dapat melihat situs sejarah presiden mereka.
Harto, mungkin suratku ini cukup sementara. Aku kelelahan dan perlu beristirahat. Terakhir aku berdoa untukmu Harto, mudah mudahan paduka yang mulia diberikan kekuatan dan ketabahan oleh Yang Maha Kuasa. Amin.
Wassalamua'laikum Wr. Wb.
Wisma Yaso, Januari 1970
Hormat saya
al Fakir
Soekarno.
Catatan : Dalam tulisan ini saya ( Safari Daud) berterimakasih kepada Asvi Warman Adam ( sejarawan LIPI), Julius Poor ( wartawan senior Kompas) dan Peter Kasenda penulis Buku " Hari Hari Akhir Soekarno". Tulisan ini terinspirasi dari mas Hairus Salim


Post A Comment: