Salah satu lokasi lahan groondkaart. Foto ist
Jakarta-Lahan bantaran kereta api dan sekitarnya (Groondkaart) kini semakin 'seksi' untuk diperbincangkan. Bukan hanya oleh warga Yang tinggal di wilayah itu, namun saat ini sudah menjadi bahan obrolan berbagai kalangan. Terutama untuk status hukum dari lahan groondkaart itu sendiri.

Menurut kacamata Anggota DPD RI dapil Lampung, Andi Surya groondkaart harusnya dikaji dan diluruskan juga oleh ahli hukum, bukannya ahli sejarah.
Pernyataan Andi ini guna menyikapi diskusi yang digelar oleh berbagai kalangan di Jakarta beberapa waktu.

"Ada hal aneh ketika mencermati dialog tentang lahan grondkaart di sebuah ballroom hotel bintang lima di Jakarta beberapa waktu lalu,"jelas Andi Surya ketika berpendapat terkait acara 'Ngobrol Tempo' yang disponsori BUMN PT. KAI dengan tema sentral 'Keabsahan Grondkaart di Mata Hukum' di Hotel Borobudur Jakarta (06/12/18).

Menurutnya, acara itu seharusnya jadi ajang diskusi yang bernuansa akademik hukum. "Bicara grondkaart adalah tentang hukum agraria dan keabsahan kepemilikan lahan, maka alangkah baik jika nara sumbernya berlatar ahli hukum agraria,"sebut Andi Surya.

Dijelaskanya, bila diamati tidak satu pun pembicara yang berlatar akademik hukum agraria."Justru narasumbernya seorang profesor ahli sejarah dan budaya, tenaga ahli Kementerian ATR/BPN dan pejabat kepolisian bidang pidana umum,"terang Andi Surya.

Akan lebih berimbang, laniutnAndi, jika dialog tersebut mengundang ahli hukum agraria sekelas Prof. Ny. Arie Hutagalung (UI), Dr. Kurnia Warman, M. Hum (Unand) dan Yuli Indrawati, SH, LLM (UI) yang pernah menyatakan bahwa grondkaart bukan alas hak kepemilikan.

Menurut ketiga ahli ini, grondkaart tidak ada aslinya cuma salinan berupa peta penampang rel KA, grondkaart tidak berkekuatan hukum karena tidak pernah dikonversi sesuai perintah UU Pokok Agraria No. 5/1960 dan berstatus lahan negara bebas, dapat dimiliki warga masyarakat.

Dilanjutkannya, yang sangat disayangkan adalah pendapat Prof. Djoko Marihandono ahli sejarah dan budaya yang diundang dalam dialog itu, menyatakan, "pemahaman akan Grondkaart harus dimasukkan dalam konteks jamannya (sejarah zaman penjajahan Belanda), bukan dengan interpretasi Undang-Undang saat ini".

"Pernyataan ahli sejarah ini tentu akan menimbulkan tafsir hukum bahwa hukum positif RI (antara lain; UUPA, UUKA, PPKA) seolah-olah dikalahkan oleh hanya sebuah gambar peta penampang rel KA zaman Belanda yang bernama 'grondkaart' yang ahli-ahli hukum agraria saja tidak mengakui sebagai dokumen absah kepemilikan,"urai Andi Surya.

"Negara kita sudah lama merdeka dan ada UU sebagai hukum positif yang berlaku. Logika hukumnya kemana ketika norma hukum positif tidak ditaati dan terbelenggu sejarah penjajahan Belanda, sebut Andi Surya.

"Dengan mengabai hukum positif sama dengan mengingkari sistem hukum RI sekaligus mengeliminir hak-hak agraria warga bantaran rel KA se-Indonesia yang terbentang dari Aceh hingga Jawa Timur di mana rakyat telah mendiami lahan grondkaart hingga tiga generasi". Pungkas Andi Surya. (Wan/tm)

Post A Comment: