Bandarlampung (Pikiran Lampung)- Kebijakan Pemkot Bandarlampung yang terasa 'aneh' di Way Dadi, dimungkinkan dipicu oleh dua hal. Pertama Soal Sertifikat HGB Hutan Kota dan ketua alih fungsi lapangan Bola dari Fasum menjadi stadion mini, benarkah?..

Pemberhentian Kepala Lingkungan (Kaling) I dan II Way Dadi, Sukarame, secara diskriminatif telah mengakibatkan gejolak dan keresahan warga masyarakat selama dua pekan terskhir. Diduga diskriminatif itu timbul karena kekhawatiran pihak Pemerintah Kota (Pemkot) Bandar Lampung terhadap kebijakan alih fungsi fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) di wilayah Way Dadi.
Salah satunya, terkait masalah sertifikat HGB Hutan Kota seluas sembilan sampai 11 hektare yang secara diam-diam telah diterbitkan oleh pemkot ke pihak PT Hasil Karya Kita Bersama (HKKB) tertanggal 14 Agustus 2018.

 Warga masyarakat merasa sangat kecewa terhadap Pemkot yang telah mengesampingkan kehidupan masyarakat dengan menerbitkan sertifikat ke pihak asing. Menyikapi hal ini, beberapa tokoh di Way Dadi juga telah memegang bukti fotocopy sertifikat HGB tersebut rencananya akan membawa persoalan itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Selain persoalan sertifikat HGU Hutan Kota, masalah lain ialah proyek pembangunan Stadion Mini oleh Pemkot Bandar Lampung di atas tanah lapangan Way Dadi, yang selama ini menjadi fasilitas umum masyarakat setempat. Sampai hari ini warga masyarakat masih mempertanyakan dasar pemerintah membangun proyek stadion mini di lahan tersebut. Tidak main-main. Jika pemkot tidak bisa menunjukan dasar pengalihan fungi lapangan Way Dadi, warga masyarakat akan menyegel proyek tersebut sebelum diresmikan.
Kekhawatiran terhadap kedua persoalan itulah yang diduga menyebabkan pemkot memerintahkan camat dan lurah setempat untuk mengganti Kepala Lingkungan I dan II di Kelurahan Way Dadi dengan dalih Peraturan Walikota (Perwali) nomor 82 tahun 2012.
Sebab, Kepala Lingkungan I Way Dadi (yang diberhentikan), Ir. H. Triyono Arifin, M.M adalah salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam pergerakan warga masyarakat Way Dadi. Itulah mengapa, Perwali nomor 82 tahun 2012 yang tidak pernah tersosialisasi kepada warga masyarakat hanya berlaku di Way Dadi. Padahal bukan hanya di Bandar Lampung, di Kecamatan Sukarame sendiri banyak kepala lingkungan yang masa jabatannya sudah belasan bahkan puluhan tahun.
Ketua DPD Asosiasi Kontraktor Listrik Nasional (Aklinas) Lampung ini menguraikan, tanah Waydadi terdiri 1000 Hektar (Ha) eks PT. Perkebunan dan PT. Wayhalim, yang notabene tahun 1979 habis masa berlaku. Lalu tahun 1980, keluar Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Disana tegas tertuang penjelasan tentang peruntukan lahan. Yakni 200 Ha untuk PT. Wayhalim Permai. Lalu 40 Ha buat PT. Perumnas Wayhalim. Kemudian 160 Ha untuk proyek Provinsi Lampung yang sekarang menjadi perumahan Korpri serta 300 Ha dikembalikan ke perusahaan semula. Terakhir sebanyak 300 Ha dikembalikan ke masyarakat penggarap. Ini jelas tertuang di SK Mendagri Tahun 1980.
“Dari SK Mendagri itu sangat jelas tidak ada pembagian lahan untuk Pemerintah Kota Bandar Lampung, sehingga wajar jika masyarakat kemudian mempertanyakan pembangunan stadion mini di lapangan Way Dadi dan penerbitan sertifikat hutan kota ke PT HKKB,” ujar Triyono Arifin, Minggu (3/11).
Triyono menegaskan, jika ia sangat legowo atas pemberhentian dirinya dari jabatan kepala lingkungan, akan tetapi dirinya menegaskan akan terus bersama warga masyarakat dalam melawan kedzoliman pemerintah terhadap lahan Way Dadi. Sebab dalam menempati lahan Way Dadi, warga masyarakat memiliki dasar yang kuat yakni membeli dari petani penggarap sesuai SK Mendagri 1980.
Dirinya juga menegaskan jika pemberhentiannya sebagai kepala lingkungan tidak ada kaitannya dengan mundurnya delapan RT di Way Dadi dan ultimatum satu kepala lingkungan serta 14 RT Way Dadi Baru ke camat setempat beberapa waktu lalu. Menurutnya hal tersebut merupakan hak para RT dan kepala lingkungan. Dan jika tindakan para unsur pemerintah di tingkat bawah itu disebut sebagai aksi solidaritas, ia menegaskan hal itu juga bukan atas perintah dari pihak manapun.
“Sekarang semuanya kembali lagi kepada Pemerintah Kota Bandar Lampung, harapan saya tentu jangan sampai dampak sosial dan pemerintahan di Way Dadi meluas ke beberapa wilayah lain,” lanjutnya.
Sebelumnya, Ombudsman RI Perwakilan Lampung juga meminta kepada pemkot agar segera menyikapi aksi pengunduran diri delapan RT di Way Dadi dan satu Kalingbersama 14 RT di Way Dadi Baru yang mengancam akan melakukan hal serupa.
Jika tidak segera disikapi, Ombudsman khawatir hal itu bakal berdampak buruk terhadap pelayananan publik di wilayah tersebut. Dikarenakan, Kaling dan RT merupakan perpanjangan tangan pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
“Kalau menurut saya memang harus segera disikapi, jangan sampai pelayanan terhadap masyarakat menjadi terganggu,” ujar Kepala Ombudsman RI Perwakilan Lampung, Nur Rakhman Yusuf.
Dirinya berharap agar masalah ini tidak berlarut-larut dan segera bisa diselesaikan secara internal oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung. Jika ultimatum yang dilayangkan Kaling II dan 14 RT di Way Dadi Baru kepada Camat Sukarame tidak diindahkan oleh yang bersangkutan, para pihak yang merasa keberatan diharap melaporkan persoalan tersebut ke Inspektorat Kota Bandar Lampung.
“Ombudsman ini adalah lembaga pengawas eksternal, sementara di internal pemerintah sendiri ada insntasi yang mempunyai wewenang yakni Inspektorat. Jika semua tahapan itu sudah dilakukan namun tidak juga disikapi pemerintah, barulah kami yang akan ambil alih,” tegasnya.
Berdasarkan informasi yang beredar, beberapa RT dan kepala lingkungan se-Kecamatan Sukarame, Bandar Lampung juga bakal mengundurkan diri sebagai bentuk solidaritas atas sikap diskriminatif yang dilakukan camat setempat. (*/R1)

Post A Comment: