Oleh : Gunawan Handoko
Ketua Harian KMBI (Komunitas Minat Baca Indonesia) Provinsi Lampung

KEPUTUSAN Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang mengubah komposisi kuota untuk sistem zonasi cukup melegakan, khususnya bagi siswa berprestasi dan lembaga sekolah yang menyandang predikat favorit atau unggulan. Jika sebelumnya dalam penerimaan siswa baru untuk siswa yang berprestasi hanya mendapat jatah kuota 15 persen, sekarang dilipatkan menjadi 30 persen. Dengan demikian siswa berprestasi bisa memilih sekolah favorit yang diinginkan tanpa berpatokan dengan zonasi. Bagi sekolah favorit atau unggulan juga merasa sedikit lega. Selama ini pihak sekolah wajib untuk menerima siswa walau nilainya pas-pasan atau bahkan kurang. Akibatnya bukan hanya guru yang merasa kesulitan dalam mengajar, bagi siswa pun akan menjadi beban berat karena tidak mampu untuk mengikuti pelajaran sesuai standar yang diterapkan di sekolah favorit tersebut. Dengan adanya kebijakan yang baru, maka kedepan sekolah favorit bisa menerima lebih banyak siswa yang berprestasi melalui seleksi dalam penerimaan siswa baru.

Sesuai keputusan Kemendikbud, kuota untuk siswa yang berada dalam zonasi sekolah yang semula 80 persen diturunkan menjadi 50 persen. Selebihnya untuk jalur afirmasi pemegang Kartu Indonesia Pintar kuotanya tetap 15 persen dan sisanya yang 5 persen dialokasikan untuk jalur perpindahan domisili orang tua.
Inilah tugas bagi para orang tua untuk memberi semangat dan mem-push anaknya agar mendapatkan angka-angka yang baik untuk mendapatkan prestasi yang baik untuk mencapai sekolah yang diinginkan. Bagi orang tua yang berdomisili di lingkungan zonasi sekolah pun harus bekerja keras memotivasi anak-anaknya untuk lebih giat belajar, mengingat jumlah kuotanya berkurang sehingga tidak ada jaminan bisa masuk di sekolah terdekat. Ada hal yang sulit dipahami, mengapa kebijakan zonasi dilandasi dengan semangat untuk menghapus favoritisme sekolah? Jujur harus diakui bahwa masyarakat sudah terlanjur percaya bahwa kualitas sekolah favorit lebih baik dari sekolah yang lainnya.

Realitanya banyak para orang tua yang mendambakan agar anak-anaknya dapat masuk di sekolah favorit. Sama halnya ketika akan memasuki jenjang perguruan tinggi, sebagian besar masyarakat akan mendahulukan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) daripada Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Sampai hari ini masalah dikotomi antara PTN dan PTS selalu saja muncul dan menjadi realitas yang sulit dihapuskan. Anggapan masyarakat bahwa PTN lebih unggul, lebih berkualitas dan ‘lebih murah’ masih melekat dan menjadi pandangan umum. Sementara PTS selalu di pandang sebagai ‘nomor dua’, selain mahal biayanya. Fakta yang tidak bisa dipungkiri, bahwa mengikuti seleksi ke PTS menjadi alternatif ke dua setelah gagal menembus benteng PTN. Maka sistem zonasi yang dilakukan oleh Kemendikbud mestinya bukan untuk menghapus favoritisme sekolah, justru harus berupaya bagaimana agar semua bisa menjadi sekolah favorit dengan cara meningkatkan SDM tenaga pendidik yang berkualitas serta sarana prasarana yang memadai. Adalah sangat penting bahwa urusan yang menyangkut peningkatan mutu SDM menjadi tanggungjawab penuh pemerintah pusat. Ini berarti, kebijakan dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan kendalinya harus tetap pada pemerintah pusat, baik regulasi maupun operasionalnya. Para guru dalam menjalankan tugasnya harus benar-benar merasa merdeka tanpa dihantui dengan mutasi atau rolling yang dilakukan oleh Kepala Daerah. Pemerintah Pusat tidak boleh menutup mata atas terjadinya politisasi dalam dunia pendidikan. Tidak jarang pendidikan dimanfaatkan untuk pencitraan. Apapun alasannya politisasi dalam dunia pendidikan harus dihentikan karena akan menghambat kemajuan pendidikan di Indonesia. Di tingkat daerah, politisasi pendidikan marak dan dilakukan dengan terang-terangan saat pemilihan kepala daerah. Keberadaan para guru tidak lagi di pandang sebagai sosok pendidik yang butuh ketenangan dalam melaksanakan tugasnya, namun sudah disamakan dengan Pegawai Negeri Sipil pada umumnya. Akibat dendam politik, tidak jarang para kepala sekolah dan guru yang harus menerima sanksi karena dianggap tidak loyal. Hal yang tidak kalah penting, dalam membuat kebijakan Kemendikbud harus mempertimbangkan nasib sekolah swasta. Jangan sampai akibat adanya kemudahan para siswa untuk memasuki sekolah negeri akan membuat sekolah swasta gulung tikar. Ambil saja contoh, program Bina Lingkungan (Biling) yang telah diberlakukan Pemerintah Kota Bandar Lampung, hal tersebut berdampak pada penurunan jumlah siswa di sejumlah SMP swasta di Bandar Lampung. Dampak lainnya telah mempengaruhi pemenuhan jumlah jam mengajar bagi guru swasta yang sudah bersertifikasi. Tidak jarang para guru yang telah bersertifikasi harus mencari tambahan jam mengajar ke sekolah lain guna untuk memenuhi standar yang dipersyaratkan.

Sesungguhnya tujuan program Biling ini baik, yakni untuk kesetaraan dan pemerataan pendidikan. Namun tidak semua siswa harus masuk ke sekolah negeri, apalagi tanpa melalui tes atau seleksi. Maka tidak ada salahnya apabila program tersebut juga diberikan kepada sekolah swasta, mengingat dana yang dipergunakan untuk mendukung program tersebut bersumber dari APBD kota Bandar Lampung. Hanya perlu dibuat regulasinya agar tidak ada pihak dirugikan. Tabik Pun...

Post A Comment: