Bandarlampung (Pikiran Lampung)- Rencana PT KAI untuk membangun rel ganda atau dobel trak di daerah Panjang Bandarlampung menyisakan persoalan lain. Yakni, soal ganti rugi lahan warga di sepanjang jalur yang akan dibangun rel ganda tersebut.

Dimana, PT KAI, khususnya Divre II Tanjungkarang diminta untuk lebih manusiawi terhadap warga yang rumahnya akan digusur. Hal ini ditegaskan aktifis kemanusian yang juga tokoh pemuda Kecamatan Panjang, Bandarlampung, Lamsihar Sinaga, SH, Jumat (28/2/2020). "Kami dengan tegas meminta agar penggusuran atau ganti rugi lahan oleh PT KAI terhadap warga bisa sesuai dan lebih manusiawi," tegasnya. PT KAI, lanjut pria yang biasa disapa Bang Alam ini, harus lebih peka dan adil terhadap rumah atau lahan warga yang akan digusur, terutama nilai uang yang akan diberikan.

Lamsihar Sinaga, SH
"Dari yang saya tau, kalau mengacu dari sosialisasi oleh PT KAI, maka besaran jumlah ganti rugi terhadap rumah warga yang terdampak proyek tersebut sangat tidak sesuai," jelasnya. Untuk itu, pihaknya tidak akan tinggal diam dan siap memberikan pembelaan terhadap warga. " Sudah ada beberapa warga yang datang ke rumah kami dan mengeluh terkait hal ini. Dan kami tegasnya akan mengawal ini dan memastikan rakyat mendapatkan keadilan,"tegas Alam.

Masih kata Alam, menurut keterangan warga,  kalau rumah panjang 10 meter,  tapi yang terkena gusuran cuma 7 meter,  maka yang diganti rugi hanya yang 7 meter. "Nasib warga dubuat tak menentu,  mau tinggal di rumah yang tersisa tiga meter sangat tidak memumungkinkan,  apalagi mau pindah membangun rumah yang baru,  sangat tidak mencukupi dana ganti rugi yang diterima," jelasnya dengan mimik sedih. Menurut keterangan warga, lanjutnya, dari hasil sosialisasi pihak PT KAI,  bahwa ganti rugi untuk rumah  permanet Rp250 ribu.  Non permanent  Rp200 ribu.

"Berdasarkan keterangan warga,  diduga pihak PT KAI disinyalir  tidak transparan,  bahka ada pengecualian terhadap orang yang dinilai beroengaruh,  dengan memberikan ganti rugi yang nilainya beda,''jelasnya.

 Kalau hal ini benar, kata Alam,  maka ini benar benar politik gaya Belanda,  devide et impera.  'Warga dipecah belah,  ini sangat kita sayangkan.  Atas hal ini,  saya dan rekan -rekan akan siap mengadvokasi warga,  untuk memperjuangkan,  agar mendaoat kelayakan ganti rugi tersebut. Saya dan kawan -  kawan yang tergabung dalam lembaga Perkumpulan Advokat Indonesia ( PAI) Lampung,  siap memberikan pembelaan hukum ke warga,"tegasnya.

Lanjut Alam, jadi jangan selalu warga ditakut takuti dengan landasan  pemilikan yang diklaim PT KAI atas objek, berupa dokumen Grondkart yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda. "Itu sangat tidak tepat.  Karena groundkart bukan dokumen yang bisa dijadikan alas hak untuk menunjukkan kepemilikan atas tanah.
Mereka kan selalu bilang berdasrakan Grondkart.  Padahal itu mirip-mirip Surat Ukur (SU) kalau  sekarang ini,  dan itu  tidak bisa jadi alas hak. Grondkart sendiri arti dasarnya ‘kan peta tanah, yang dikeluarkan pemerintah Hindia belanda. Dalam UUPA, Grondkart ini tidak dikenal," tegasnya.

Jadi, lanjut Alam, tidak bisa menjadi atas hak, yang djadikan senjata untuk menakut nakuti rakyat.  Dan melakukan pengusuran,  dengan ganti rugi yang sangat merugikan rakyat.  "Jadi tolong manusiawikanlah manusia.  Jangan hanya memikirkan kepentingan mereka,  rakyat terjolimi,"pungkas Alam.
Sementara itu, hingga berita ini dibuat pihak PT KAI belum memberikan keterangan resmi. (Wawan).

Post A Comment: