Opini -

Gugum Ridho Putra, S.H.,M.H

Pada tanggal 06/01/2021 pukul 09.00 WIB, Bawaslu Provinsi Lampung baru saja membacakan putusan atas laporan pelanggaran TSM yang amar putusannya menyatakan terbukti telah terjadi pelanggaran TSM dan menjatuhkan sanksi rekomendasi pembatalan (diskualifikasi) kepada Pasangan Calon Terlapor. Dengan putusan demikian, Pasangan Calon Nomor Urut 03 (Terlapor) atas nama Eva Dwiana - Deddy Amrullah, meskipun menjadi peraih suara terbanyak dalam pilkada kota Bandar Lampung tahun 2020, secara hukum telah kehilangan hak-hak kepesertaannya sehingga tidak dapat ditetapkan sebagai pemenang ataupun dilantik sebagai Walikota dan Wakil Walikota Terpilih.

Demikianlah hukum bekerja. Tidak pernah ada di bayangan banyak pihak, bagaimana pasangan calon yang telah menang dalam pilkada bisa berujung didiskualifikasi? Faktanya Ketentuan UU Pilkada dan Peraturan Bawaslu memang memungkinkan hal itu terjadi. Setiap dugaan pelanggaran TSM yang dapat mendiskualifikasi Pasangan Calon, bisa diajukan sejak penetapan Pasangan Calon sebagai peserta pilkada hingga hari-H pemungutan suara. Artinya, risiko terkena diskualifikasi tetap saja ada meskipun Pasangan Calon pada hari pencoblosan mendapatkan suara terbanyak. Demikianlah yang terjadi pada Pilkada Walikota Bandar Lampung ini. Laporan pelanggaran TSM diajukan kepada Bawaslu Provinsi Lampung pada tengah malam hari-H pencoblosan pukul 23.00 WIB, dan hari ini telah dibacakan putusannya.

Tentunya, bukan hal yang baru ketika Bawaslu menjatuhkan sanksi diskualifikasi. Bawaslu provinsi di berbagai daerah sudah pernah menjatuhkan sanksi-sanksi serupa. Hanya saja dalam laporan pelanggaran TSM Pilkada Kota Bandar Lampung Tahun 2020 ini, ada hal yang membuatnya sedikit berbeda. Sebabnya antara lain: pertama, dari sisi pelaku, pihak yang melakukan pelanggaran TSM adalah “pihak lain” dalam hal ini Pemerintah Kota Bandar Lampung beserta jajaran dan bukan Pasangan Calon Terlapor secara langsung. Kedua, dari sisi objeknya, materi yang dibagi-bagikan untuk memengaruhi pemilih bukan materi yang didanai oleh Pasangan Calon Terlapor, melainkan didanai oleh APBD karena ia adalah bagian dari program resmi pemerintah kota yang berupa bantuan beras untuk seluruh masyarakat Kota Bandar Lampung yang terdampak COVID-19. Cakupannya tentu saja luas (massif).

Ketiga, yang krusial juga adalah bahwa Pasangan Calon Terlapor yang diadukan ini bukanlah incumbent atau Walikota Aktif yang mencalonkan diri dalam kontestasi pilkada. Karenanya menjadi pertanyaan mendasar "bagaimana menarik pertemuan antara maksud / perintah bagi-bagi uang/materi/janji oleh Pasangan Calon Terlapor kepada aparatur pemerintah kota yang melakukan pembagiannya di lapangan kepada Masyarakat, sementara dirinya sendiri bukan Walikota aktif". Tiga hal ini lah yang membuat kita memahami Majelis Pemeriksa Bawaslu Provinsi perlu ekstra hati-hati dalam memutus perkara ini agar jangan sampai terjadi kekeliruan atau salah dalam memutus.

Walaupun dalam pertimbangannya, Majelis menyebut telah terdapat bukti yang meyakinkan bahwa benar pembagian beras yang dilakukan oleh Camat, Lurah, RT dan linmas disisipi pesan agar memilih pasangan calon Terlapor terjadi masif di kecamatan-kecamatan Kota Bandar Lampung, namun dari sisi Majelis Pemeriksa, memutuskan perkara ini tetap saja tidak mudah, sebab pelaku TSM nya adalah Pihak Lain, objeknya adalah program resmi pemerintah kota, dan Pasangan Calon Terlapor sendiri bukan incumbent meskipun statusnya adalah istri sah dari Walikota Bandar Lampung aktif saat ini. Tetap saja Majelis Pemeriksa harus mampu menjawab pertanyaan hukum yang timbul atasnya, yakni "dapatkah Pasangan Calon Terlapor ini dikenakan tanggung jawab hukum (didiskualifikasi) atas pelanggaran yang bukan tindakannya sendiri melainkan dilakukan oleh Pihak lain?". Karena pasal-pasal soal TSM tidak mengatur hal itu secara tegas, maka hanya ada satu jalan untuk menjawabnya yakni dengan melakukan penafsiran hukum.

Lantas terjawablah sudah semua keraguan. Benar saja, Majelis Pemeriksa Bawaslu Provinsi Lampung berani mengambil putusan. Majelis menilai rangkaian fakta yang ada dengan menarik penafsiran hukum atas larangan dan sanksi pelanggaran TSM bagi Pasangan Calon dan Tim Kampanye di pasal 73 ayat (1) dan (2) UU No. 10 Tahun 2016, dihubungkan dengan larangan pelanggaran TSM yang berlaku bagi subjek lain seperi anggota partai politik, relawan atau pihak lain pada ketentuan ayat (4)nya. Dari penafsiran sistematis yang dilakukan Majelis Pemeriksa, didapatkan kaidah hukum bahwa "meskipun sanksi diskualifikasi kepada Pasangan Calon hanya dilekatkan bersama tindakan TSM yang dilakukan oleh Tim Kampanye, namun tidak berarti atas pelanggaran TSM yang dilakukan oleh subjek-subjek lain seperti anggota partai politik, relawan atau pihak lain dapat menjadi alasan untuk melepaskan Pasangan Calon Terlapor dari sanksi diskualifikasi". Maka Pasangan Calon Terlapor pun tetap beralasan menurut hukum untuk disanksi diskualifikasi.

Lantas kalau pelanggaran TSM itu dilakukan oleh Pihak Lain, apa dasarnya Pasangan Calon Terlapor harus ikut bertanggung jawab? ternyata pengenaan tanggung jawab hukum itu ditarik Majelis dari prinsip keadilan yang berlaku universal yang pernah diulas oleh Ahli Pelapor yakni "tidak seorangpun boleh diuntungkan atas pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorangpun pula boleh dirugikan oleh pelanggaran atau penyimpangan yang dilakukan orang lain". Rupa-rupanya dari prinsip inilah Majelis memperoleh keyakinan untuk menjatuhkan sanksi diskualifikasi. Meskipun pihak yang melakukan pelanggaran TSM itu adalah Pihak Lain, namun Pasangan Calon Nomor Urut 03 terbukti diuntungkan dan menerima manfaat atas pelanggaran TSM yang terjadi, sehingga Pasangan Calon Terlapor yang telah menang suara di atas kecurangan tidak dapat dibiarkan begitu saja, sekalipun kecurangan itu dilakukan pihak lain. 

Putusan Bawaslu Provinsi Lampung ini patut diapresiasi. Ketidakjelasan ketentuan pasal ataupun fakta-fakta yang sulit diurai tidak mengurangi profesionalisme dan objektivitas Majelis Pemeriksa perkara. Meskipun pelanggaran TSM yang terjadi dibungkus dengan program resmi pemerintah Kota, justru di sanalah Majelis mampu melihatnya secara jernih bahwa sifat-sifat terstruktur (melibatkan aparatur), sistematis ( terencana sangat rapi) dan masif (berdampak luas) ternyata betul-betul terjadi meskipun dalam bentuknya yang terselubung dengan sangat rapi. Putusan ini tentunya dapat menjadi acuan atau land mark decision bagi Bawaslu-Bawaslu Provinsi/Kabupaten/Kota di daerah-daerah lain, utamanya, sejak putusan ini telah lahir satu kaidah hukum baru yang menjadi acuan pengawas dalam menjatuhkan diskualifikasi, yakni "Pasangan Calon yang terbukti menerima manfaat atau diuntungkan atas Pelanggaran TSM yang dilakukan Pihak Lain tetap dapat dijatuhi sanksi pembatalan (diskualifikasi) sebagai Pasangan Calon. 

Semoga perhelatan pilkada ke depan terus lebih baik dan berkualitas serta bebas dari praktik-praktik kecurangan yang merusak kualitas demokrasi kita.

Post A Comment: