Advertisement
Bandarlampung (Pikiran Lampung)- Selain sibuk dengan rutinitas melihat ke atas langit, mendung atau cerah, warga kota Bandar Ngapung tiap satu jam sekali wajib melakukan pemanasan. Terutama pemanasan untuk renang jika tiba –tiba air banyak datang alias banjir cuy..
Ya saat ini, Kota Bandar Ngapung makin terkenal, sayangnya
bukan karena prestasi, melainkan karena kemampuan warga berenang dadakan tiap
musim hujan datang.
Bahkan saking lihay kemampuan warga berenang, pengurus
organisasi renang akan merekrut warga sebagai atlet renang berprestasi, dan
akan dilatih lebih profesional dan semakin tanggap saat banjir datang.
Maklum, sudah menjadi kalender tetap, begitu hujan dua jam
saja, warga berubah profesi menjadi atlet renang, dan mobil-mobil berubah
fungsi jadi perahu darurat.
Di tengah derita rakyat, Walikota Ipah Dewiyanah justru
sibuk menggunting pita. Kali ini, dia tersenyum lebar di depan kamera,
meresmikan Jembatan Pelangi senilai puluhan miliar.
Jembatan membentang gagah, sebagai penghubung antara
Kantor Pemkot dan Masjid meski tidak ada urgensinya untuk mengatasi banjir.
Tidak ada sungai di bawahnya,tidak ada jurang, bahkan
genangan pun tidak ada. Tapi dengan bangga, Bunda Ipah mengatakan Jembatan itu
Simbol Kota, ya menjadi simbol kota yang terapung banjir.
Sementara itu, di pinggir kota, program Kali Pengkolan
yang dulu dijanjikan akan mengatasi banjir sampai akar-akarnya kini malah lebih
mirip selokan tempat warga cuci kaki. Air yang harusnya mengalir lancar malah
mampet, penuh lumpur, plastik, dan cerita rakyat.
Setiap kali banjir datang, Walikota Ipah muncul bak
superhero. Turun dari mobil mewah, membagi sembako dan amplop berisi uang kopi.
Setelah foto-foto, beliau langsung kabur sebelum sandal
warga sempat terlempar. Tidak ada rapat darurat, tidak ada proyek pencegahan,
hanya postingan di. Media sosial bertuliskan:
“Bunda Selalu ada di Tengah Bencana” Berharap simpati
netizen justru menuai hujatan.
Di sisi lain, anggota DPRD Kota Bandar Ngapung malah lebih
sibuk dengan kegiatan vital negara mengumpulkan “sisa recehan” dari kegiatan
reses, dan kunjungan kerja ke kota-kota yang, anehnya, selalu berlokasi di dekat
pusat belanja atau resort wisata.
Banjir berlumpur di Kecamatan Rejang yang sampai menelan
korban jiwa? Ah, itu dianggap “bencana musiman”, seperti musim kodok kawin di
musim penghujan.
Cibiran warga sudah membubung setinggi tiang listrik. Tapi
apa daya, di kantor Pemkot dan DPRD, yang terdengar hanya suara ketikan
proposal kunjungan kerja, bukan ketukan solusi.
Berita banjir sudah tentu menjadi bahasan serius Di
pelataran parkir Kantor Gubernur, warung sederhana milik Dek Yanti “Kopi Slemon”, kopi racikan spesial yang
dijamin, sekali teguk langsung move-on dari patah hati maupun banjir.
Kudapannya? Legendaris ya Tahu Bunting Isi Kecambah, tahu
goreng sederhana, tapi penuh semangat perlawanan.
Di warung itu, para legenda lokal seperti Din Bacut, Mat
Gebok, Udin Sekong, dan Yati Semok wartawati senior dengan jari-jari lebih
cepat dari modem, sering nongkrong sambil mengomentari dunia.
“Kayaknya Walikota kita sebentar lagi bikin program baru
deh,” kata Din Bacut sambil menyeruput Kopi Slemon.
“Program apa, Din?” sahut Udin Sekong sambil ngunyah tahu
bunting.
“Program Ngapung Bareng Walikota. Jadi kalau banjir, warga
diajak naik kereta gantung. Bayarnya pake sembako,” jawab Din serius.
Mereka semua tertawa terbahak, sampai nyaris tersedak
kopi.
Karena ya, di Bandar Ngapung, yang mengapung bukan cuma
warga tapi juga janji-janji politik.
Kota ini sudah lama tenggelam, bukan hanya oleh air
banjir, tapi juga oleh omong kosong yang mengalir deras tanpa bendungan.
Dan begitu hujan turun lagi minggu itu, banjir meluas.
Walikota Ipah sibuk mencari sudut foto terbaik di jembatan baru, sementara
anggota DPRD sibuk memilih hotel untuk studi banding banjir ke kajarta.
Sementara Din Bacut, Mat Gebok, Udin Sekong, dan Yati
Semok masih setia di bawah tenda warung Dek Yanti, memegang secangkir Kopi
Slemon, sambil terkikik pahit:
“Aguyyyy..Ngapung terus, Bandar Ngapung. Ngapung terus.(**)