Advertisement
Bandarlampung (Pikiran Lampung)-Rencana Pemerintah Kota (Pemkot) Bandar Lampung yang akan mengibahkan APBD senilai Rp 60 Milyar untuk pembangunan gedung Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung menuai kritikan tajam dari elemen masyarakat.
Pasalnya, langkah walikota Bandarlampung Eva Dwiana tersebut dinilai pemborosan dan serta melukai hati rakyat. Menurut Radinal Kordinator Investigasi Aliansi Tunas Lampung, kebijakan walikota Bandarlampung tersebut sangat di luar nalar di tengah kondisi ekonomi warga yang sulit saat ini.
" Kami nilai kebijakan walikota Bandarlampung yang akan menggelontorkan dana hibah Rp60 milyar ke Kejati Lampung sangat keterlaluan dan tidak masuk akal. Warga Bandarlampung akan sangat kecewa dengan kebijakan ini, karena sungguh dana sebesar itu justru dialirkan bukan untuk kepentingan rakyat,"tegas Radinal, Ahad (28/9/2025).
Hal yang sama juga dikatakan oleh Defri, warga Bandar Lampung lainnya. " Jujur kami sangat kecewa, kami rakyat saat ini sedang sulit tapi walikota malah mau ngasih dana untuk pembangunan gedung Kejati, dan jumlahnya kami dengar sangat banyak, tolong lah bu walikota jangan begitu, coba dana itu untuk bantu kami rakyat ibu yang masih kesulitan ekonomi ini,"kata Defri dengan muka sedih.
Hal yang sama dikatakan oleh Ani Paryani, seorang ibu rumah tangga. " Bunda kami jujur sangat kecewa, lebih baik uang yang sangat banyak itu untuk bantuan modal usaha kami atau untuk memperbaiki jalan yang saat ini banyak yang rusak,"jelasnya dengan muka memerah.
Sigit Darmaji, warga Bandarlampung lainnya sangat mengkritisi kebijakan walikota Bandarlampung ini,
Pasalnya, bukan kali pertama dalam kepemimpinan Wali Kota Bandar Lampung, Eva Dwiana menggelontorkan anggaran puluhan milyar kepada instansi vertikal,"jelasnya, Yang notabenenya, Kata Sigit, sebenarnya sudah memiliki alokasi anggaran sendiri dari pusat yaitu APBN secara nasional.
Tercatat Walikota Eva Dwiana telah memberikan Rp50 M untuk pembangunan fasilitas kesehatan Universitas Lampung (Unila) dan Rp75 M bagi rumah sakit Universitas Islam Negri Raden Intan Lampung (UIN RIL). Selain itu hibah tanah kepada Polda Lampung 1 hektare, pembangunan rumah dinas Kapolda Lampung dan gedung Satlantas dan Satintelkam Polresta Bandar Lampung yang tentu dananya juga miliaran rupiah
Yeko Pebriansyah, sekretaris Aliansi Tunas Lampung sangat mengkritik keras kebijakan hibah Rp60 Milyar ini.
" Uang 6o milyar itu banyak, manfaatnya untuk rakyat Bandarlampung apa,"kata Yeko.
Parahnya lagi, lanjutnya, di tengah keterpurukan anggaran sebagaimana tertuang dalam LHP BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung Atas Sistem Pengendalian Intern dan Kepatuhan Terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Pemkot Bandarlampung Tahun 2024, Nomor: 28B/LHP/XVIII.BLP/05/2025 tanggal 23 Mei 2025-, yaitu mengalami defisit riil sebesar Rp 267.426.698.983,08 dan utang setidaknya mencapai Rp 276.411.928.491, namun Walikota Eva nampaknya tidak perduli tetap 'ngotot' menggelontorkan uang rakyat secara berlebihan Rp 60 milyar untuk membangun gedung Kejati Lampung.
Rencananya, anggaran Rp 60 Milyar disiapkan secara bertahap, pada tahap pertama dilaksanakan pada Agustus 2025 senilai Rp 15 Milyar dari APBD tahun 2025 dan tahap kedua APBD 2026 senilai Rp 45 Milyar.
Dalam hal penegakan hukum akan mengakibatkan sikap keberpihakan disebabkan hibah dapat mengganggu netralitas dan integritas Kejaksaan Tinggi Lampung sebagai penegak hukum. Pasalnya, netralitas penegak hukum bisa saja dipertanyakan ketika menerima hibah dari Pemkot Bandar Lampung.
"Kalau Pemkot memberikan hibah (bantuan uang/barang) ke kejaksaan tinggi, secara hukum memang boleh asalkan sesuai aturan (misalnya Permendagri No. 77/2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah). Tapi, di sisi lain ada dampak negatif yang sering jadi sorotan,"kata Yeko.
Menimbulkan potensi konflik kepentingan, Kejaksaan seharusnya berperan sebagai lembaga penegak hukum yang mengawasi jalannya pemerintahan daerah. Jika Pemkot memberi hibah, bisa muncul kesan bahwa kejaksaan “berutang budi”, sehingga independensi dan obyektivitasnya dipertanyakan.
Menurunnya, kepercayaan publik dimana masyarakat bisa curiga bahwa hibah digunakan untuk “membeli” perlindungan hukum atau memperlemah pengawasan terhadap potensi kasus korupsi di Pemkot.
"Hibah rawan disalahgunakan dan bisa dijadikan modus untuk menyamarkan gratifikasi atau bentuk lain dari penyalahgunaan keuangan daerah,"jelas Yeko.
Ketidakadilan dalam Prioritas Anggaran. Dana hibah mestinya dialokasikan untuk kepentingan masyarakat luas (pendidikan, kesehatan, infrastruktur). Kalau dialihkan ke institusi penegak hukum yang sudah punya anggaran dari APBN, muncul pertanyaan tentang keadilan penggunaan APBD.
Hal lainnya kata Yeko, menciptakan Hubungan Tidak Sehat antara Eksekutif dan Aparat Hukum. Alih-alih hubungan profesional, bisa timbul kedekatan yang berpotensi memunculkan praktik tebang pilih dalam penegakan hukum.
Mengurangi akuntabilitas, meski hibah harus dipertanggungjawabkan, pengawasan penggunaan hibah kadang lemah. Akibatnya, berpotensi menimbulkan penyalahgunaan dan pemborosan anggaran. (red)