Advertisement
Bandarlampung (Pikiran Lampung) - Terus bergulirnya pemberian honor kepada anggota KPID dan KI oleh Diskominfotik Provinsi Lampung terus mencuat dan menuai kritikan dari berbagai elemen warga, perihal masa jabatan komisioner Komisi Informasi (KI) dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Lampung yang sudah habis, bisa menimbulkan potensi kerugian negara sebesar Rp3,4 Miliar lebih.
Hal ini jika melihat masa jabatan komisioner KI Lampung
yang berakhir pada Februari 2024 dan KPID Lampung pada Oktober 2023. Namun,
sampai Agustus 2025 para komisioner tersebut kabarnya masih menerima honor. Hal
ini bisa berpotensi merugikan keuangan negara apabila tidak adanya landasan
hukum yang jelas dan kuat terkait perpanjangan masa jabatan di dua lembaga
tersebut.
Jika dilihat dari masa jabatan tersebut, boleh jadi ada
kekhawatiran negara dirugikan sebesar Rp3,476.000.000 akibat pembayaran
honorarium komisioner dengan asumsi rincian Ketua KPID Rp15 Juta dikali 22
bulan = Rp330 juta, Wakil Ketua Rp14,5 Juta dikali 22 bulan = Rp319 Juta dan
lima anggota masing-masing Rp14 Juta dikali 22 Bulan = Rp1,540 Miliar, jika
total maka sebesar Rp2.189.000.000.
Kemudian, untuk komisioner KI Lampung telah melewati masa
jabatan selama 18 bulan. Dengan asumsi rincian Ketua Rp15 Juta dikali 18 =
Rp270 juta, Wakil Rp14,5 Juta dikali 18 = Rp261 juta dan Anggota sebanyak tiga
orang dikali Rp14 juta selama 18 bulan maka hasilnya sebanyak Rp756 juta dan
jika ditotal keseluruhan honorarium KI expired sebesar Rp1.287.000.000.
Jadi total potensi kerugian negara atas honorarium komisioner KI-KPID Lampung sebesar Rp2.189.000.000 ditambah Rp1.287.000.000 yakni Rp3.476.000.000.
Ketua Jaringan Pengamat Sosial (JPSI), Ichwan. Ia menilai Dinas
Komunikasi, Informasi dan Statistik (Diskominfotik) Provinsi Lampung sebagai
pengelola anggaran tidak cermat dan teliti jika jabatan para Komisioner KI-KPID
Lampung sudah berakhir.
“Sebagai Dinas yang menaungi pembayaran para Komisioner
KI-KPID seharusnya lebih teliti dan cermat dalam urusan keuangan, apalagi
dibayarkan dalam waktu hampir 2 tahun, jika memang mereka lalai atau lupa ya,” ungkap
Ichwan pada Media Harian Pikiran Lampung, Jumat (12/09/2025).
Ia melanjutkan, Jika memang ada unsur kesengajaan, maka
pihak berwajib harus mengusut tuntas kerugiaan negara sebesar Rp3.476.000.000
tersebut.
“Kami Jaringan Pengamat Sosial Indonesia meminta aparat penegak
hukum untuk mengusut tuntas hal tersebut jika memang ada faktor kesengajaan dan
pembiaraan, apalagi ada indikasi pihak Diskominfotik ‘bermain’ para Komisioner
KI-KPID yang telah habis masa jabatannya tersebut.
Jadi kami minta kepada pihak berwenang untuk mengurai ‘benang
kusut’ ini, dan pihak pihak yang terlibat dalam kasus ini harus diusut tuntas, kalau memang terbukti ada unsur pidana maka harus dicopot dari jabatannya dan
dipenjarakan sesuai Undang-Undang yang berlaku,” pungkasnya.
Sebelumnya, Serikat Mahasiswa dan Pemuda Peduli Lampung
(SIMPUL) segera melayangkan pengaduan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung.
Laporan tersebut berkaitan dengan dugaan maladministrasi dan tindak pidana
korupsi dalam pembayaran honorarium Komisioner Komisi Informasi (KI) dan Komisi
Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Lampung yang masa jabatannya telah berakhir.
Ketua SIMPUL, Rosim Nyerupa, dalam keterangannya
menyebutkan bahwa SK Gubernur Lampung mengenai pengangkatan anggota KPID
berakhir pada Oktober 2023, sementara masa jabatan KI Lampung selesai pada
Februari 2024. Namun, meski sudah tidak memiliki legitimasi hukum, para
komisioner disebut masih menerima honorarium penuh setiap bulan dari APBD.
“Honorarium yang diterima cukup besar, yakni Ketua Rp15
juta, Wakil Ketua Rp14,5 juta, dan Anggota Rp14 juta. Ini jelas pemborosan
anggaran dan berpotensi korupsi,” ujar Rosim.
SIMPUL menilai, Dinas Komunikasi, Informatika, dan
Statistik (Diskominfotik) Lampung sebagai pengelola anggaran telah menyalahgunakan
kewenangan. Pasalnya, meski tidak ada dasar hukum, anggaran tetap dialokasikan
untuk membayar komisioner yang sudah tidak sah.
Selain itu, alasan pemerintah daerah yang menunda
rekrutmen hingga 2026 dengan dalih efisiensi APBD dinilai tidak masuk akal.
“Efisiensi seharusnya menghemat, bukan malah terus membayar orang yang sudah
tidak punya legitimasi jabatan,” tambahnya.
Dalam pengaduannya, SIMPUL meminta Kejati Lampung segera
melakukan pemeriksaan dan memberikan sanksi tegas kepada pihak-pihak yang terlibat.
Mereka menegaskan bahwa praktik ini bukan hanya bentuk maladministrasi, tetapi
juga berpotensi masuk kategori tindak pidana korupsi serta penyalahgunaan
wewenang.
Tindakan ini menegaskan adanya penyalahgunaan kewenangan pejabat
sebagaimana diatur dalam Pasal 421 KUHP, karena pejabat menggunakan kekuasaan
untuk membiayai sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan;
Bahwa penundaan seleksi pengisian jabatan Komisioner Komisi Informasi (KI) Lampung dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) oleh Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik (Diskominfotik) merupakan bentuk dugaan pelanggaran maladministrasi karena telah menimbulkan akibat hukum berupa kekosongan jabatan lebih dari 2 tahun.
Hal ini diatur dalam Pasal 1 anggka 3 Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, berbunyi “Maladministrasi
adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan
wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk
kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan
publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang
menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang
perseorangan”;
Bahwa perbuatan Komisioner KI Lampung dan KPID Lampung
yang masih menerima honorarium dan tunjangan setelah berakhirnya masa jabatan
dan Diskominfotik Lampung yang memberikan honorarium dan tunjangan kepada
Komisioner KI dan KPID, diduga kuat sebagai tindak pidana korupsi.
Hal ini diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, berbunyi “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (***)
