lisensi

Sabtu, 06 September 2025, September 06, 2025 WIB
Last Updated 2025-09-06T08:19:54Z
Mimpi Buruk Program MBGPendidikan

Makan Bergizi Gratis, Dari Harapan Jadi Mimpi Buruk Orang Tua

Advertisement



Bandar Lampung (Pikiran Lampung) - Program makan bergizi gratis (MBG) sejatinya lahir dari niat mulia: memastikan setiap anak sekolah mendapatkan asupan gizi yang layak agar mampu belajar dengan sehat dan cerdas. Di atas kertas, program yang berada dibawah naungan Badan Gizi Nasional (BGN) dan dilaksanakan oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) ini adalah jawaban dari masalah klasik gizi buruk dan ketimpangan akses pangan. Namun, kenyataan di lapangan justru berbalik arah. Alih-alih membawa kebaikan, program ini terus menimbulkan kasus keracunan massal di berbagai daerah. 


Jika sebelumnya perundungan (bullying), diskriminasi atau kekerasan verbal ataupun fisik menjadi momok para orang tua, tidak untuk saat ini. Mereka dihantui pertanyaan: Apakah makanan yang diberikan benar-benar aman?, Apakah anak saya akan baik-baik saja sepulang sekolah?, sebuah ironi yang justru hadir dari program resmi pemerintahnya.


Bayangkan suasana di sebuah sekolah dasar di Lampung. Suasana ceria saat istirahat, anak-anak dengan polosnya menyantap hidangan yang diberikan. Beberapa jam kemudian, tangis dan rintihan menggantikan tawa. Puluhan, bahkan ratusan tangan mungil memegangi perut yang melilit. Korban berjatuhan: 247 siswa di Bandar Lampung, puluhan siswa SD IT di Kotabumi, 25 santri di pesantren Lampung Timur, dan puluhan lagi di Tanggamus dan juga Kota Metro. Mereka adalah korban dari sebuah program yang seharusnya menyelamatkan mereka.


Setiap kali insiden terjadi, bukan hanya ratusan anak yang menjadi korban, tetapi juga kepercayaan publik yang hancur. Orang tua yang seharusnya merasa tenang karena anaknya mendapat makanan sehat di sekolah, kini dihantui rasa was-was. Ketika sebuah program sosial berubah menjadi sumber ketakutan, di situlah kegagalan nyata terlihat.


Persoalan ini bukan semata-mata soal “nasib buruk”, melainkan sistem yang lemah. Rantai distribusi bahan makanan yang tidak higienis, pengawasan mutu yang longgar, hingga dugaan praktik asal-asalan demi mengejar keuntungan, menjadi bom waktu yang terus meledak. Selama tidak ada audit menyeluruh dan penegakan standar yang ketat, program makan bergizi gratis hanya akan menjadi ladang bisnis yang mengorbankan kesehatan anak bangsa.


Kita harus berani mengatakan bahwa program ini membutuhkan evaluasi total. Pemerintah tidak bisa hanya menjanjikan "perbaikan" setiap kali ada kasus, lalu melupakan setelah sorotan media mereda. Keamanan pangan adalah harga mati, apalagi ketika menyangkut anak-anak yang masih berada pada masa tumbuh kembang.


Program makan bergizi gratis tidak boleh dimatikan, tetapi juga tidak bisa dibiarkan berjalan dengan pola lama. Transparansi dalam pengadaan, pelibatan ahli gizi, pengawasan ketat distribusi hingga proses memasak, serta partisipasi masyarakat harus menjadi standar baru. Tanpa itu semua, program ini hanya akan terus menjadi mimpi buruk bagi para orang tua, alih-alih sebuah jaminan masa depan sehat bagi generasi muda.(madi)