lisensi

Minggu, 19 Oktober 2025, Oktober 19, 2025 WIB
Last Updated 2025-10-19T10:46:52Z
Bandar Lampung

Adab Di Atas Ilmu: Catatan Dari Pesantren untuk Media

Advertisement


Bandar Lampung (Pikiran Lampung) - Di tengah hiruk-pikuk dunia media yang kian haus perhatian, batas antara berita dan hiburan semakin kabur. Tayangan televisi kini sering menjelma menjadi panggung sensasi, tempat kejujuran dikorbankan demi angka rating dan popularitas. 


Pemberitaan program Trans7 “Expose Uncensored” tentang pesantren, yang disajikan secara sepihak dan tidak proporsional, telah melukai hati para santri dan kiai di seluruh pelosok negeri. Tayangan semacam itu tidak hanya mencederai muruah lembaga pesantren yang selama ini menjadi benteng moral bangsa, tetapi juga mengkhianati nurani jurnalisme yang seharusnya berdiri di atas kebenaran dan keadilan. 


 Dunia pesantren memandang tindakan itu bukan sekadar kekeliruan teknis, melainkan bentuk pengingkaran terhadap nilai kemanusiaan dan kebangsaan yang dijaga dengan air mata dan doa. Bagi pesantren, tudingan dan framing yang menyudutkan itu terasa seperti debu yang dilempar ke wajah sejarah panjang perjuangan ulama dan santri. 


Pesantren bukan tempat kegelapan, melainkan pelita ilmu dan adab yang telah menerangi Indonesia sejak masa perjuangan. Maka wajar jika muncul gelombang kekecewaan, bahkan kemarahan, dari para kiai, santri, dan umat Islam yang melihat tayangan tersebut sebagai bentuk ghaflah, kelalaian besar dalam menjaga kehormatan ilmu dan agama.


 Sebab dalam tradisi Islam, terlebih di dunia pesantren, adab selalu diletakkan di atas ilmu. Ilmu tanpa adab hanya melahirkan kesombongan, sementara adab tanpa ilmu masih dapat menyelamatkan seseorang dari kehinaan. Hadratussyekh KH Hasyim Asyari menyitir dalam Kitab Adabul Alim wal Mutaalim, qaul dari Imam Abdullah bin Mubarak: 

نَحْنُ إِلَى قَلِيلٍ مِنَ الْأَدَبِ أَحْوَجُ مِنَّا إِلَى كَثِيرٍ مِنَ الْعِلْمِ Artinya: Kita lebih membutuhkan adab (meskipun) sedikit dibanding ilmu (meskipun) banyak. 


Ungkapan ini menjadi fondasi pendidikan pesantren. Sejak dini, santri diajarkan bukan hanya membaca kitab, tetapi juga membaca hati. Mereka menimba ilmu dengan menundukkan ego, menghormati guru, menjaga lisannya, dan menata niat sebelum melangkah. 


Karena itu, di setiap pesantren, kalimat yang sering terdengar dari para kiai adalah: Adab dalam pandangan pesantren bukan sekadar sopan santun, tetapi kesadaran batin untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya (wad’u asy-syai’ fi mahallihi). 


Ia adalah bentuk integritas yang lahir dari hati yang bersih dan jiwa yang tawadhu‘. Di era digital, media seharusnya menjadi penyalur kebenaran. Namun kini, sebagian media justru terjebak pada logika clickbait dan viralitas. Kebenaran dikemas seperti dagangan, sementara kehormatan manusia diobral demi penonton. 


Al-Qur’an telah mengingatkan: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌۭ بِنَبَإٍۢ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًۭا بِجَهَـٰلَةٍۢ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَـٰدِمِينَ 

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, sehingga kamu menyesal atas perbuatanmu itu (QS Al-Ḥujurāt [49]: 6). 


Dalam Tafsīr al-Qurṭubī disebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan al-Walīd bin ‘Uqbah yang diutus Rasulullah saw untuk mengambil zakat dari Bani al-Muṣṭaliq. Karena rasa takut dan prasangka, ia kembali ke Madinah dengan membawa kabar bahwa kaum tersebut telah menolak zakat dan hendak memerangi utusan Nabi. 


Rasulullah saw hampir saja memerintahkan pasukan untuk menyerang mereka, hingga datang rombongan Bani al-Muṣṭaliq menjelaskan kebenaran yang sesungguhnya. Saat itulah Allah menurunkan ayat ini sebagai peringatan keras agar kaum beriman tidak tergesa-gesa menelan berita tanpa verifikasi. 


Al-Qurṭubī menegaskan bahwa dua qirā’ah, fatabayyanū (periksalah) dan fatathabbatū (tetaplah tenang dan pastikan), keduanya bermakna sama, yaitu menunda keputusan sampai kebenaran jelas. Dari kisah ini, lahirlah prinsip tabayyun yang menjadi asas etika sosial Islam: tidak terburu-buru menuduh, tidak cepat menghakimi, dan tidak menyiarkan kabar sebelum memastikan kebenarannya. 


Prinsip ini pula yang semestinya menjadi jiwa dunia media dan jurnalisme hari ini. Sebab, sebagaimana sabda Nabi saw: 

«التَّأَنِّي مِنَ اللَّهِ وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ» 

Artinya: Sikap tenang dan hati-hati berasal dari Allah, sedangkan tergesa-gesa berasal dari setan (HR al-Tirmiżī, no. 2012). 


Maka, tabayyun bukan sekadar adab menerima kabar, tetapi sumber integritas sosial dan moral. Tanpanya, masyarakat mudah terombang-ambing oleh fitnah dan prasangka. 


Seperti halnya Rasulullah saw yang menahan diri hingga kebenaran terbukti, seharusnya media dan jurnalis hari ini pun meneladani akhlak kenabian itu, tidak tergoda oleh sensasi, tidak dikuasai oleh nafsu popularitas, dan tidak mengorbankan kebenaran demi tepuk tangan penonton. 


Pesantren membangun manusia dari dalam. Santri tidak hanya dididik agar cerdas, tetapi agar berakhlak. Ilmu yang dipelajari harus menumbuhkan rasa takut kepada Allah, sebagaimana firman-Nya:

 إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Artinya: Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama (QS Fāṭir [35]: 28). 


Kiai selalu menanamkan bahwa ilmu yang tidak membuat seseorang berakhlak mulia, hakikatnya belum menjadi ilmu yang bermanfaat. Imam al-Ghazālī dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn menulis: اَلْعِلْمُ بِلَا عَمَلٍ جُنُوْنٌ، وَالْعَمَلُ بِلَا عِلْمٍ لَا يَكُوْنُ Artinya: Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu tidak akan terjadi. 


Namun, pesantren menambahkan satu lapisan lagi: ilmu dan amal keduanya tidak akan sampai tanpa adab. Adab-lah yang menjaga niat, mengarahkan amal, dan mengokohkan keikhlasan. Pemberitaan yang menistakan dunia pesantren seharusnya menjadi cermin bagi bangsa ini bahwa krisis moral jauh lebih berbahaya daripada krisis informasi. 


Adab adalah benteng terakhir ketika logika pasar merasuki ruang publik. Tanpa adab, kebenaran menjadi relatif, dan kehormatan manusia menjadi mainan kamera. Maka, marilah kita kembali menegakkan adab sebagai inti kehidupan berbangsa. Bagi para santri, adab adalah jalan menuju keberkahan ilmu. 


Bagi para jurnalis, adab adalah jalan menuju kemuliaan profesi. Dan bagi bangsa ini, adab adalah penopang peradaban. Sebagaimana wasiat Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki:

 من ضاع أدبه ضاع علمه، ومن ضاع علمه ضاع دينه، ومن ضاع دينه فهو في النار 

Artinya: Barang siapa hilang adabnya, hilanglah ilmunya; barang siapa hilang ilmunya, hilang agamanya; dan barang siapa hilang agamanya, maka ia dalam kebinasaan. 


Semoga bangsa ini kembali belajar kepada pesantren, lembaga yang mengajarkan bahwa cahaya ilmu hanya akan berpendar di hati yang beradab. Sebab adab adalah wajah ilmu, ruh amal, dan puncak dari iman. (H Puji Raharjo Soekarno, Ketua Presidium Nasional Ikatan Keluarga Alumni Pesantren Tebuireng)