Advertisement
Bandar Lampung (Pikiran Lampung) - Kebijakan seharusnya lahir dari nurani. Namun apa jadinya ketika kebijakan justru lahir dari ego. Polemik pemberian dana hibah sebesar Rp 60 miliar oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung untuk pembangunan gedung Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung semakin memanas.
Kebijakan ini dinilai tidak hanya menunjukkan keberpihakan yang salah, tetapi juga ironis, mengingat kondisi keuangan daerah sedang mengalami defisit dan tumpukan utang pemerintah daerah masih membayangi.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI per Mei 2025, Pemkot Bandar Lampung mengalami defisit anggaran sebesar Rp 267 miliar dan memiliki utang senilai Rp 276 miliar. Kondisi ini menunjukkan ketidakcukupan pembiayaan belanja daerah selama tiga tahun berturut-turut, sehingga menimbulkan sorotan terhadap pengelolaan keuangan daerah oleh pemerintah kota.
Sejumlah pihak mempertanyakan logika kebijakan tersebut. Di satu sisi pemerintah terus mengeluhkan keterbatasan anggaran untuk pelayanan dasar, tetapi di sisi lain berani mengalokasikan puluhan miliar rupiah demi bangunan baru.
“Kalau pemerintah bilang lagi defisit, kenapa bisa keluar duit Rp 60 miliar untuk hibah? Bukankah itu bentuk ego penguasa yang tidak mau mendengar jeritan rakyat?” ujar warga Sukarame, sabtu (04/10/2025).
Pendapat yang sama diutarakan oleh seorang ibu rumah tangga di Teluk Betung. Ia menilai keputusan tersebut sangat melukai rasa keadilan masyarakat.
“Anak-anak sekolah masih banyak belajar di ruang kelas yang rusak, jalan di kampung kami hancur, tapi uang negara malah dipakai buat bangun gedung megah. Rasanya kami ini benar-benar tidak dianggap,” tuturnya dengan nada kecewa.
Sementara itu Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Lampung (UML), Jeni Rahma menyebut, jika diliat secara rasional, prioritas anggaran pemkot sangat janggal. Menurutnya, dari perspektif tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), kebijakan tersebut rawan dianggap tidak sensitif terhadap kebutuhan publik yang lebih mendesak.
Ia juga mengingatkan regulasi yang berlaku, di antaranya UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, serta Permendagri 77/2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah. Semua aturan tersebut menegaskan bahwa penggunaan APBD harus berdasarkan prinsip efektivitas, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas.
“Gedung Kejati sendiri secara kelembagaan adalah domain pemerintah pusat (Kejaksaan RI). Artinya, dukungan daerah bisa saja diberikan, tetapi sifatnya lebih ke hibah atau fasilitas yang biasanya harus diukur urgensinya dan tidak boleh membebani kemampuan fiskal daerah,”ujarnya.
Bandar Lampung sedang tidak baik-baik saja. Banjir masih rutin datang, jalan-jalan penuh lubang, sampah menggunung, dan pengangguran kian terasa. Di sisi lain, harga-harga kebutuhan pokok melambung. Pada kondisi seperti itu, keputusan menggelontorkan puluhan miliar rupiah untuk gedung baru jelas menunjukkan keberpihakan yang timpang.
Rakyat menjerit, penguasa sibuk dengan pencitraan. Rakyat berteriak minta solusi, penguasa menjawab dengan bangunan megah. Apa gunanya institusi penegak hukum kokoh berdiri, jika keadilan sosial bagi rakyat justru runtuh?
Kebijakan publik tidak bisa hanya diukur dari prestige atau hubungan politik antar-lembaga. Ia harus berpijak pada kebutuhan nyata masyarakat. Jika tidak, ia hanya akan meninggalkan catatan kelam: sebuah ego kekuasaan yang berdiri di atas penderitaan rakyatnya sendiri.