Advertisement
Nusa Tenggara Timur (Pikiran Lampung) - Niat Firmansyah bersama empat rekannya pemuda Kampung Komodo untuk napak tilas di pesisir utara Pulau Padar tak kesampaian usai dicegat petugas dari Balai Taman Nasional Komodo (BTNK).
Saat tiba di lokasi bagian utara pulau itu pada 30 Agustus, Wendi, staf BTNK Wilayah Seksi III yang membawahi Pulau Padar dan Pulau Papagarang memberitahu mereka bahwa setiap orang yang memasuki kawasan itu harus membawa izin khusus. Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) itu merujuk pada peraturan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Kehutanan.
Wendi mengibaratkan kedatangan Firman dan rekan-rekannya – Riswan Adiyatma, Apriansyah, Aryadi dan Rehan Aditya Pertama – seperti orang yang bertamu ke rumah orang lain. “Seumpama rumah, orang masuk saja, kalian marah atau tidak?” katanya.
Firman, 27 tahun, berusaha menjelaskan bahwa mereka adalah Ata Modo-masyarakat adat di Pulau Komodo-dan napak tilas itu untuk menghidupkan kembali memori sejarah mereka.
Namun, penjelasan itu tidak mengubah keputusan Wendi yang bersikeras bahwa mereka tidak bisa beraktivitas di kawasan itu. “Kalian niatnya sudah bagus, cuma caranya masih kurang,” katanya.
Kedatangan mereka ke lokasi itu, yang diikuti tim Floresa, berbekal cerita warisan turun-temurun tentang Tepo Lima Boneng, legenda tentang lokasi berburu Ata Modo di Pulau Padar.
Mereka sedang menghimpun kembali berbagai informasi tentang sejarah mereka untuk dimasukan ke dalam Komodo Center. Rencananya tempat yang berada di Kampung Komodo itu akan menjadi pusat informasi dan pengetahuan tentang Ata Modo dan komodo yang dalam legenda mereka diyakini sebagai saudara kembar.
Firman berkata, dari tuturan sejarah tetua adat, Padar utara merupakan wilayah adat Ata Modo dan tempat mereka mencari makanan. Di sana mereka biasa mendirikan loang pada masa lalu. Dalam bahasa setempat, loang adalah rumah sementara selama masa berburu, mencari ikan dan mengumpulkan asam.
Ide napak tilas itu lahir di tengah munculnya rencana pembangunan fasilitas bisnis pariwisata di Pulau Padar oleh PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE), perusahaan yang terkait dengan eks napi kasus korupsi Setya Novanto dan pebisnis Tomy Winata.
Pulau Padar merupakan salah satu pulau besar di dalam kawasan Taman Nasional Komodo yang terkenal dengan lanskap bukit-bukit hijau, pantai dan karang yang indah. Luas pulau yang berhadapan langsung dengan Pulau Komodo itu sekitar 173.300 hektar.
Bagian utara pulau itu yang kini menjadi konsesi PT KWE memiliki beberapa pantai yang menjadi daya tarik wisata karena pasirnya yang berwarna merah muda, perpaduan antara serpihan karang merah dan pasir putih.
Perusahaan tersebut berencana mendirikan 619 unit bangunan, sebagaimana terungkap dalam sebuah pertemuan di Labuan Bajo pada Juli lalu. Selain 448 vila, bangunan lainnya adalah 13 restoran, sebuah bar raksasa berukuran 1.200 meter persegi, 7 lounge, 7 pusat kebugaran, 7 spa dan 67 kolam renang.
Lokasi yang dikunjungi Firman dan kawan-kawannya masuk ke dalam blok dua dari tujuh blok rencana pembangunan pusat bisnis PT KWE. Di blok itu rencananya berdiri 92 fasilitas, termasuk 76 unit vila dan dua unit restoran.
Di tengah rencana PT KWE, kata Riswan, napak tilas itu merupakan salah satu bentuk perlawanan warga. “Ini inisiatif kami untuk mempertahankan legitimasi sejarah orang Komodo di Pulau Padar. Apalagi kami sedang bangun Komodo Center, tempat belajar sejarah dan melihat fakta sejarah berdasarkan bukti otentik,” katanya.
Diusir dari Gunung Ara dan Loh Liang
Tak hanya di Pulau Padar, memori Ata Komodo tentang tanah ulayat juga berkaitan dengan Gunung Ara, puncak tertinggi Pulau Komodo yang merupakan salah satu tempat tinggal nenek moyang mereka. Haji Akbar, salah satu tokoh adat, mengenang masa-masa saat mereka dipindahkan secara paksa dari Gunung Ara setelah penetapan Taman Nasional Komodo pada tahun 1980. “Di sana ada tanaman padi, ada juga warga yang memiliki kebun kelapa,” kata Akbar, 64 tahun.
Sampai saat ini, jejak mereka di Gunung Ara masih membekas. Salah satunya lewat kuburan. “Nenek dan paman saya juga dikubur di sana,” katanya.
Lokasi lainnya yang pernah menjadi kampung Ata Modo adalah di Loh Liang, yang kini menjadi pintu masuk bagi wisatawan ke Pulau Komodo. Alimmudin, 48 tahun, menyebut Loh Liang merupakan eks kebun dan kampung masyarakat Komodo. Namun, sejak kawasan itu ditetapkan sebagai Cagar Alam pada 1965 “kami diusir pemerintah, padahal masyarakat hidup dan berkebun di sana.”
Penyingkiran setelahnya berlangsung dalam situasi politik Orde Baru di bawah Soeharto “yang sangat represif sehingga orang Komodo bisa begitu saja diusir. Sejarah ini memang tidak tertulis, tapi turun temurun diceritakan lewat budaya tutur,” katanya.
Akbar menggambarkan pengusiran dari Loh Liang sebagai awal dari proses panjang peminggiran masyarakat Komodo. “Sejak itu kami dimarjinalkan, tidak boleh pergi ke mana-mana, tempat cari makan diisolasi. Di Loh Liang yang tersisa hingga kini hanya kuburan nenek moyang sebagai penanda sejarah kami,” katanya.
Kesaksian soal jejak masyarakat Komodo di Loh Liang juga diakui Nurcaya, perempuan yang kini berjualan kuliner. Ia menyebut di Loh Liang masih ada tertoho, sebutan mezbah persembahan terhadap leluhur. Nurcaya mengantar Floresa melihat langsung lokasi tertoho tersebut. Tampak tumpukan batu yang ditata rapi, dengan beberapa tiang kayu yang ditancapkan dan diikat kain putih.Nurcaya mengaku merekam sejarah itu karena “dulu saya besar di Loh Liang.”
Jejak sejarah orang Komodo pernah ditulis oleh J.A.J. Verheijen, antropolog sekaligus imam misionaris Katolik asal Belanda yang pernah berkarya di wilayah Manggarai, Flores barat pada 1935-1993.
Dalam buku etnografi dan kajian budaya Pulau Komodo, Tanah, Rakyat, dan Bahasanya yang terbit pada 1987, Verheijen menulis bahwa dipandang dari sudut jumlahnya, penduduk Pulau Komodo barangkali merupakan minoritas yang tidak penting di Indonesia.
Pulau itu, kata Verheijen, memang terkenal karena kehadiran komodo atau Varanus Komodoensis yang langka. “Namun demikian, kita di sini berhadapan dengan suatu bangsa yang memiliki bahasa tersendiri dan kebudayaan tersendiri pula, dan lagi mempunyai sejarah yang tuanya kira-kira 2.000 tahun,” tulisnya.
Menurut Verheijen, penduduk Komodo menyebut diri mereka sebagai Ata Modo, Pulau Komodo dengan Tana Modo, bahasa Komodo dengan Wana Modo.
Karpet Merah untuk Korporasi
Dalam buku itu, Verheijen sudah mengutarakan kekhawatirannya tentang masa depan Ata Modo dengan masuknya industri pariwisata. “Bangsa yang luar biasa ini, yang hingga kini hidup terpencil, kini memasuki kurun waktu yang baru,” tulis Verheijen, menyinggung soal mulainya era baru pariwisata.
Ia menambahkan, masuknya pariwisata membawa bahaya bagi pertanian, perikanan dan kebebasan penduduk. “Dengan demikian hancurlah hak mereka atas karya, tradisi dan lingkungan hidup,” tulisnya.
Kekhawatiran Verheijen terjawab ketika beberapa dekade kemudian Ata Modo menyaksikan kawasan yang dulu mereka tempati kini diobral pemerintah kepada sejumlah korporasi. Sementara 2.000 warga Pulau Komodo saat ini hanya diizinkan menempati wilayah seluas 17 hektare, sejumlah korporasi mendapat konsesi hingga ratusan hektare di sejumlah pulau di dalam kawasan taman nasional.
Kementerian Kehutanan-yang sebelumnya bernama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan-menggelontorkan izin-izin itu sejak 2014, dua tahun usai mengubah peta zonasi di sejumlah pulau, mengubah zona konservasi menjadi zona pemanfaatan.
PT KWE misalnya memperoleh konsesi seluas 274,13 hektare di Pulau Padar dan 154,6 hektare di Loh Liang.
Sementara di Pulau Tatawa, pemerintah juga memberi konsesi seluas 6,49 hektare kepada PT Synergindo Niagatama. Konsesi ini diperluas menjadi 15,32 hektare pada 2018 setelah pemerintah melakukan perubahan desain tapak dengan menambah luas ruang usaha.
Perusahaan lain adalah PT Segara Komodo Lestari yang mendapat konsesi seluas 22,1 hektare di Pulau Rinca.
PT KWE sudah mulai beroperasi pada 2021 di Pulau Padar, namun berhenti setelah Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menuntut pemerintah menyiapkan kajian lingkungan sebelum memulai pembangunan fisik apapun di dalam taman nasional.
Lembaga yang bertanggung jawab atas status Taman Nasional Komodo sebagai Situs Warisan Dunia itu mengkhawatirkan terancamnya Nilai Universal Luar Biasa (OUV) kawasan itu dengan pembangunan fisik, yang sekaligus mengancam habitat komodo.
Ratusan fondasi milik PT KWE telah berdiri, sebelum kemudian ditinggalkan. Hal itulah yang membuat perusahaan itu kini menyusun dokumen Environmental Impact Assessment (EIA) atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan untuk memenuhi permintaan UNESCO.
Fondasi bangunan PT KWE di Pulau Padar utara. (Dokumentasi Floresa)
Sementara kini PT KWE sedang mengurus dokumentasi lingkungan, orang-orang dari perusahaan itu tetap mulai beraktivitas di Pulau Padar. Mereka hadir dengan membonceng PT Palma Hijau Cemerlang (PHC), perusahaan yang sejak Oktober 2024 menjalin kerja sama dengan BTNK untuk program konservasi.
PT KWE berkaitan dengan PT PHC, yang tampak dari nama orang-orang di dalamnya. Salah satunya adalah Erick Hartanto yang berkedudukan sebagai komisaris utama, baik pada PT KWE maupun PT PHC. Nama lain adalah Mark Moses Pattikawa yang menjadi direktur PT KWE dan komisaris PT PHC.
Saat Floresa mendatangi Pulau Padar, belasan karyawan PT PHC sedang istirahat di teras mes yang berdampingan dengan kantor milik BTNK.
Wendi, staf BTNK yang di belakangnya tampak berasan karyawan PT PHC. (Dokumentasi Floresa)
Sementara itu, PT Segara Komodo Lestari, yang kini dikuasai Grup Plataran milik Yozua Makes, sempat memulai pembangunan pada 2018, namun berhenti karena protes luas masyarakat sipil di dalam kawasan taman nasional dan di Labuan Bajo.
Perusahaan ini semula milik saudara Yozua, David Makes yang pernah menjabat sebagai Ketua Tim Percepatan Pengembangan Ekowisata pada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Peralihan ke Yozua terjadi pada 2022. Selain memiliki resor di pesisir Labuan Bajo, Yozua juga punya kapal pinisi mewah yang pernah dinikmati mantan Presiden Joko Widodo saat kunjungan ke Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo.
Demi memuluskan ekspansi korporasi swasta, pada 2019 pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo dan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat juga sempat mencanangkan relokasi warga Pulau Komodo ke tempat lain. Mereka berencana menjadikan Pulau Komodo sebagai kawasan pariwisata eksklusif atau wisata premium.
Kata-kata Laiskodat yang viral kala itu adalah: “karena namanya Pulau Komodo, maka kita harus mengatur agar pulau-pulau itu betul-betul hanya terisi komodo, tidak boleh ada manusia ,” kata Viktor. Namun, rencana itu batal karena kerasnya penolakan dari masyarakat.
Khawatir Disingkirkan Lagi
Yusuf, salah seorang warga Kampung Komodo sedang berjualan di pesisir utara Pulau Padar utara saat Floresa menemuinya. Lapaknya berada di Pantai Long Beach 2 yang berjejeran dengan lapak milik belasan warga lainnya yang terbuat dari kayu, berdinding seng dan beratap alang-alang.
Di tempat yang selalu dikunjungi turis itulah, Yusuf, 64 tahun, mencari nafkah dengan berjualan makanan ringan, kelapa muda, kopi dan minuman seperti bir. “Saya datang pagi, sore pulang,” kata ayah tiga anak itu yang pergi pulang dari Pulau Komodo menggunakan perahu motor dengan waktu tempuh 45 menit.
Lokasi tempatnya berjualan juga masuk dalam wilayah konsesi PT KWE, hal yang membuatnya khawatir bisa tersingkir jika di lokasi itu nanti akan berdiri vila dan restoran.
Para turis di Pantai Long Beach 2 Pulau Padar utara, dengan latar belakang lapak milik warga asal Kampung Komodo. (Dokumentasi Floresa)
“Ke mana lagi saya berdagang seperti ini?” kata Yusuf yang meninggalkan profesi sebagai nelayan pada 2017.
Daud Galuh, rekannya punya kekhawatiran serupa. “Masyarakat Komodo mata pencahariannya dengan cara ini saja, tidak ada kebun, tidak ada ladang,” kata pria 65 tahun itu.
“Pergi ke gunung tidak bisa, karena lewat lima meter saja dari kampung bisa masuk penjara,” katanya soal pembatasan gerak mereka oleh pemerintah. Daud yang berhenti jadi nelayan pada 2017 berkata, “pariwisata membuat kami berubah, mencari uang dengan cara ini.”
Ia menjual souvenir, berbagai makanan ringan, kopi dan kelapa, sandaran utama untuk keluarganya selain untuk membiayai anak yang sekolah. Di tengah rencana PT KWE, ia ikut khawatir jika suatu saat akan kembali disingkirkan dari Pulau Padar.
“Kalau masyarakat Komodo di Long Beach ini diusir kembali ke kampung, saya tidak tahu apa yang akan terjadi,” katanya.
Kalaupun nanti tidak diusir, ia takut wisatawan tidak lagi mampir di warungnya. “Kalau nanti sudah ada vila, jelas tamu tidak datang ke kami. Mereka mau datang lihat apa? Sementara di situ ada semua, restorannya juga ada,” katanya.(*)