Advertisement
Jakarta (Pikiran Lampung)- Saat ini sedang ramai informasi
penolakan Menteri Keuangan Purbaya yang menolak membayar utang kereta cepat
pakai dana APBN.
Sebab, gurita utang warisan mantan presiden Joko Widodo
tersebut dinilai sangat membebani APBN, yang imbasnya bisa langsung ke rakyat
Indonesia.
Keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menolak
agar APBN ikut menanggung beban utang proyek kereta cepat yang dinamai Whoosh
sudah sangat tepat.
Demikian dikatakan peneliti media dan politik Buni Yani
melalui akun Facebook pribadinya, dikutip Senin 13 Oktober 2025, seperti
dikutif dari laman RMOL.
Buni Yani menegaskan utang segunung proyek kereta cepat
merupakan murni tanggung jawab mantan Presiden Joko Widodo alias Jokowi dan
mantan Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
"Sudahlah ini tanggung jawabnya Jokowi, Luhut, and
the gang," kata Buni Yani.
Buni Yani mengaku tidak ingin kebodohan yang diperbuat
pemimpin sebelumnya dibebankan kepada rakyat.
"Jangan timpakan dosa dan kebodohan mereka ke
rakyat," sambungnya.
Diketahui, proyek kereta cepat mengalami pembengkakan
nilai proyek dari 6,07 miliar dolar AS menjadi sekitar 7,27 miliar dolar AS.
Mayoritas porsi utang dari pembiayaan proyek ini didominasi oleh pinjaman dari
China Development Bank (CDB) dengan bunga utang mencapai 3,7 persen-3,8 persen
dengan tenor hingga 35 tahun.
Adapun komposisi konsorsium BUMN memegang saham di KCIC
sebesar 60 persen melalui PT Pilar Sinergi BUMN, sedangkan China melalui
Beijing Yawan HSR Co. Ltd memiliki 40 persen.rmol news logo article
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa
ngotot tak ingin Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dipakai untuk
membayar utang Kereta Cepat Jakarta-Bandung alias Whoosh.
Penolakan disampaikan karena saat ini Whoosh dikelola oleh
BUMN. BUMN, katanya, saat ini juga sudah dikendalikan oleh Danantara.
"Itu kan Whoosh sudah dikelola oleh Danantara kan.
Danantara sudah ngambil Rp80 triliun lebih dividen dari BUMN, seharusnya mereka
manage dari situ saja," kata Purbaya usai Inspeksi Mendadak (Sidak) di
Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (13/10).
"Kalau pakai APBN agak lucu. Karena untungnya ke dia
(Danantara), susahnya ke kita. Harusnya kalau diambil (dividen BUMN), ambil
semua gitu (termasuk beban utang BUMN)," tegas sang Bendahara Negara.
Sebagai informasi, Whoosh alias Kereta Cepat
Jakarta-Bandung dibangun dengan nilai total investasi US$7,2 miliar atau setara
Rp116,54 triliun (asumsi kurs Rp16.186 per dolar AS).
Investasi ini bengkak dari proposal awal yang diajukan
oleh China pada 2015 lalu saat rebutan dengan Jepang. Saat itu, China
menawarkan Kereta Cepat Jakarta-Bandung dengan nilai investasi US$5,13 miliar.
Investasi lebih murah dibandingkan dengan tawaran Jepang
yang mengajukan proposal investasi US$6,2 miliar.
Nah, dari total biaya investasi itu US$7,2 miliar itu, 75
persen di antaranya didapat dari pinjaman China Development Bank.
Sementara sisanya berasal dari setoran modal pemegang
saham, yaitu gabungan dari PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) (60 persen)
dan Beijing Yawan HSR Co Ltd (40 persen).
Keberadaan utang itu, membebani kinerja keuangan PT KAI
sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam pengoperasian Whoosh.
Nah, untuk mengatasi masalah itu, Badan Pengelola
Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) menyiapkan dua opsi untuk
membereskan utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Chief Operating Officer (COO) BPI Danantara Dony Oskaria
mengungkap dua cara itu adalah menyuntik dana ke KAI atau mengambilalih
infrastruktur Kereta Cepat. (Rmol/CNN/PL)