Advertisement
Bandarlampung (Pikiran Lampung) - Warga Lampung sangat antusias menyambut program Gubernur Rahmat Mirzani Djausal soal pemutihan pajak.
Namun apa jadinya jika harapan nan sirna seperti judul lagu Malaysia?. Gubernur Mirza harus evaluasi kinerja Bapenda Lampung, termasuk kepala Bependa, Slamet Riyadi?
Program pemutihan pajak kendaraan bermotor yang digadang-gadang Pemerintah Provinsi Lampung sebagai bentuk kepedulian terhadap beban ekonomi masyarakat justru memunculkan polemik baru.
Alih-alih memberi keringanan, pelaksanaan di lapangan justru menambah beban. Kinerja Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Lampung pun mulai dipertanyakan.
Sorotan tajam datang dari masyarakat usai viralnya keluhan seorang wajib pajak di media sosial yang mengaku kecewa dengan proses pemutihan yang ia anggap hanya sebatas slogan.
Dalam video yang diunggah akun @eydir89, seorang warga menceritakan pengalaman pahit saat hendak memanfaatkan program pemutihan di Samsat Kabupaten Way Kanan.
Ia mengaku telah datang dengan semangat usai mendengar langsung imbauan Gubernur Rahmat Mirzani Djausal yang menyatakan bahwa masyarakat hanya perlu membayar pokok pajak tahun berjalan.
Namun realitas di lapangan jauh dari yang dijanjikan.
“Saat saya membayar, ternyata pajak yang biasanya hanya sekitar 200 ribu jadi 400 ribu lebih. Katanya masih harus bayar denda sebelumnya dan denda Jasa Raharja. Kalau begini, ini bukan pemutihan, tapi pembebanan,” ungkapnya dalam video tersebut, baru -baru ini.
Lebih lanjut, ia mengungkap ketidakjelasan informasi yang diterima masyarakat soal rincian biaya. Salah satu yang paling mengecewakan adalah tetap diberlakukannya biaya Bea Balik Nama (BBN), padahal menurut ketentuan terbaru seharusnya sudah dihapus.
“Saya melakukan BBN antar keluarga, kendaraan atas nama orang tua saya yang sudah sepuh. Tapi tetap dikenakan biaya 385 ribu dengan alasan 'material'. Kami tidak tahu maksudnya apa. Yang kami pahami hanya bayar pokok pajak satu tahun, seperti yang dikatakan Gubernur,” tambahnya.
Tak kuat menanggung biaya tak terduga, ia pun memutuskan untuk membatalkan pembayaran dan menarik kembali dokumen kendaraannya.
“Kalau begini, saya batal bayar pajak karena uang saya tidak cukup. Kepada Pak Gubernur, tolong lihat langsung kondisi di lapangan. Jangan biarkan kami dibingungkan oleh sistem yang tidak transparan,” tegasnya.
"Program pemutihan yang dicanangkan oleh Pemprov melalui Bapenda Lampung tidak konsisten di lapangan, kami tetap diminta pembayaran seperti normal. Ini tidak sesuai dengan harapan Gubernur Lampung seperti yang disosialisasikan sebelumnya," ujar warga Bandarlampung yang identitasnya tak mau disebutkan kepada tim media ini, 5 Mei 2025 lalu.
Padahal, dalam berbagai pernyataan resminya, Gubernur Lampung telah menjanjikan penghapusan denda pajak kendaraan bermotor (PKB), denda SWDKLLJ, dan pembebasan BBN kendaraan dari luar daerah sebagai bentuk keberpihakan pemerintah terhadap rakyat.
Kebijakan tersebut bahkan sejalan dengan amanat Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 yang menghapus Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor II (BBNKB II) dan seterusnya, serta menegaskan bahwa masyarakat hanya perlu membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk penerbitan STNK, BPKB, dan TNKB.
Akademisi FISIP Universitas Lampung, Dedy Hermawan, ikut menanggapi polemik ini. Ia menilai persoalan ini harus menjadi perhatian serius Gubernur Lampung.
“Keluhan warga ini harus ditindaklanjuti oleh Gubernur Lampung. Gubernur mesti turun langsung ke lapangan, temui dan dialog dengan warga yang kecewa dengan praktik pemutihan pajak di Provinsi Lampung.
Jangan sampai ini jadi preseden buruk dan mengecewakan masyarakat. Sementara program serupa di berbagai provinsi berjalan sukses dan mendapat apresiasi masyarakat, justru sebaliknya terjadi di Lampung,” tegas Dedy, kepada media.
Ia juga menyoroti pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap pelaksana teknis.
“Cek dan recheck oleh Gubernur atas kinerja petugas pemutihan di lapangan. Kalau ada penyimpangan, beri sanksi tegas. Evaluasi layanan dan beri solusi konkret kepada warga yang kecewa terhadap layanan pemutihan pajak. Segera Gubernur menemui pemilik akun media sosial tersebut yang telah menyampaikan aspirasinya,” ujarnya.
Menurutnya, ini bukan sekadar tanggung jawab teknis Bapenda, tapi menjadi momentum pembuktian kepemimpinan.
“Tak hanya tugas Bapenda Lampung. Sebaiknya langsung Gubernur, sekaligus memberikan bukti keseriusan Gubernur terhadap program pemutihan dan kepedulian terhadap rakyat selaku wajib pajak. Gubernur jangan berjarak dengan rakyatnya,” tandas Dedy.
Lemahnya pengawasan dan minimnya sosialisasi dari Bapenda Lampung kini menjadi sorotan utama. Pelaksanaan yang inkonsisten dan membingungkan justru mencederai semangat program yang seharusnya meringankan masyarakat.
Ketidakterpaduan antara narasi politik dan teknis birokrasi ini menjadi sinyal kegagalan koordinasi internal.
Jika tidak segera dievaluasi, program pemutihan yang digadang sebagai solusi bisa berubah menjadi sumber krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah, khususnya terhadap Bapenda sebagai instansi teknis pelaksana.
Saat harapan publik dikhianati oleh praktik di lapangan, maka sudah sepatutnya Bapenda Lampung diminta bertanggung jawab. Janji tak boleh berhenti di baliho atau pidato, tapi harus diwujudkan dengan sistem yang adil, transparan, dan berpihak pada rakyat. (Red)