Advertisement
Bandarlampung (Pikiran Lampung)- Baru berjalan beberapa hari, namun program Pemutihan pajak di Provinsi Lampung sudah mendapatkan keluhan warga.
Keluhan warga ini bahkan sampai juga ke wakil rakyat di
DPRD Provinsi Lampung. Yang langsung
direspon oleh anggota DPRD Lampung dengan memberikan ‘catatan khusus’ ke
Pemprov Lampung, dalam hal ini Bapenda selaku satker terkait.
Dimana, anggota fraksi PDI-P DPRD Lampung, Ferliska
Ramadhita Johan, meminta organisasi perangkat daerah (OPD) terkait untuk lebih
jelas dalam memberikan sosialisasi secara transparan kepada masyarakat.
“Program pemutihan pajak ini merupakan program 100 hari
kerja Gubernur Lampung, untuk itu dinas terkait harusnya lebih jelas untuk
mensosialisasikan secara transparan kepada masyarakat," kata Ferliska,
Selasa (6/5).
Ferliska menyampaikan keluhan yang diterimanya dari
masyarakat terkait premi jasa raharja dan denda Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan
Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) yang juga harus dibayar.
“Yang masyarakat ketahui ketika pemutihan mereka hanya
membayar satu tahun pajak saja, ternyata masih juga membayar jasa raharja dan
SWDKLLJ menunggak dikali dengan berapa tahun tunggakan tersebut. Sehingga hal
ini yang menjadi keluhan masyarakat saat saya turun ke dapil,” tuturnya.
Selain itu, anggota Komisi III DPRD Lampung ini juga
berharap dinamika yang terjadi di masyarakat ini menjadi catatan khusus untuk
perbaikan OPD ke depannya.
“Pemutihan pajak ini kan merupakan program baik untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), untuk itu sistem dan sosialisasinya
harus jelas sampai kepada masyarakat. Sehingga pemutihan pajak ini dapat
maksimal dan mencapai target untuk PAD Provinsi Lampung," ujarnya.
Bertalian dengan ini, warga Lampung sangat antusias
menyambut program Gubernur Rahmat Mirzani Djausal soal pemutihan pajak.
Namun apa jadinya jika harapan nan sirna seperti judul
lagu Malaysia?. Gubernur Mirza harus evaluasi kinerja Bapenda Lampung, termasuk
kepala Bependa, Slamet Riyadi?
Program pemutihan pajak kendaraan bermotor yang
digadang-gadang Pemerintah Provinsi Lampung sebagai bentuk kepedulian terhadap
beban ekonomi masyarakat justru memunculkan polemik baru.
Alih-alih memberi keringanan, pelaksanaan di lapangan
justru menambah beban. Kinerja Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Lampung pun
mulai dipertanyakan.
Sorotan tajam datang dari masyarakat usai viralnya keluhan
seorang wajib pajak di media sosial yang mengaku kecewa dengan proses pemutihan
yang ia anggap hanya sebatas slogan.
Dalam video yang diunggah akun @eydir89, seorang warga
menceritakan pengalaman pahit saat hendak memanfaatkan program pemutihan di
Samsat Kabupaten Way Kanan.
Ia mengaku telah datang dengan semangat usai mendengar
langsung imbauan Gubernur Rahmat Mirzani Djausal yang menyatakan bahwa
masyarakat hanya perlu membayar pokok pajak tahun berjalan.
Namun realitas di lapangan jauh dari yang dijanjikan.
“Saat saya membayar, ternyata pajak yang biasanya hanya
sekitar 200 ribu jadi 400 ribu lebih. Katanya masih harus bayar denda
sebelumnya dan denda Jasa Raharja. Kalau begini, ini bukan pemutihan, tapi
pembebanan,” ungkapnya dalam video tersebut, baru -baru ini.
Lebih lanjut, ia mengungkap ketidakjelasan informasi yang
diterima masyarakat soal rincian biaya. Salah satu yang paling mengecewakan
adalah tetap diberlakukannya biaya Bea Balik Nama (BBN), padahal menurut
ketentuan terbaru seharusnya sudah dihapus.
“Saya melakukan BBN antar keluarga, kendaraan atas nama
orang tua saya yang sudah sepuh. Tapi tetap dikenakan biaya 385 ribu dengan
alasan 'material'. Kami tidak tahu maksudnya apa. Yang kami pahami hanya bayar
pokok pajak satu tahun, seperti yang dikatakan Gubernur,” tambahnya.
Tak kuat menanggung biaya tak terduga, ia pun memutuskan
untuk membatalkan pembayaran dan menarik kembali dokumen kendaraannya.
“Kalau begini, saya batal bayar pajak karena uang saya
tidak cukup. Kepada Pak Gubernur, tolong lihat langsung kondisi di lapangan.
Jangan biarkan kami dibingungkan oleh sistem yang tidak transparan,” tegasnya.
"Program pemutihan yang dicanangkan oleh Pemprov
melalui Bapenda Lampung tidak konsisten di lapangan, kami tetap diminta
pembayaran seperti normal. Ini tidak sesuai dengan harapan Gubernur Lampung
seperti yang disosialisasikan sebelumnya," ujar warga Bandarlampung yang
identitasnya tak mau disebutkan kepada tim media ini, 5 Mei 2025 lalu.
Padahal, dalam berbagai pernyataan resminya, Gubernur
Lampung telah menjanjikan penghapusan denda pajak kendaraan bermotor (PKB),
denda SWDKLLJ, dan pembebasan BBN kendaraan dari luar daerah sebagai bentuk
keberpihakan pemerintah terhadap rakyat.
Kebijakan tersebut bahkan sejalan dengan amanat
Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 yang menghapus Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
II (BBNKB II) dan seterusnya, serta menegaskan bahwa masyarakat hanya perlu
membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk penerbitan STNK, BPKB, dan
TNKB.
Akademisi FISIP Universitas Lampung, Dedy Hermawan, ikut
menanggapi polemik ini. Ia menilai persoalan ini harus menjadi perhatian serius
Gubernur Lampung.
“Keluhan warga ini harus ditindaklanjuti oleh Gubernur
Lampung. Gubernur mesti turun langsung ke lapangan, temui dan dialog dengan
warga yang kecewa dengan praktik pemutihan pajak di Provinsi Lampung.
Jangan sampai ini jadi preseden buruk dan mengecewakan
masyarakat. Sementara program serupa di berbagai provinsi berjalan sukses dan
mendapat apresiasi masyarakat, justru sebaliknya terjadi di Lampung,” tegas
Dedy, kepada media.
Ia juga menyoroti pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap
pelaksana teknis.
“Cek dan recheck oleh Gubernur atas kinerja petugas
pemutihan di lapangan. Kalau ada penyimpangan, beri sanksi tegas. Evaluasi
layanan dan beri solusi konkret kepada warga yang kecewa terhadap layanan
pemutihan pajak. Segera Gubernur menemui pemilik akun media sosial tersebut
yang telah menyampaikan aspirasinya,” ujarnya.
Menurutnya, ini bukan sekadar tanggung jawab teknis
Bapenda, tapi menjadi momentum pembuktian kepemimpinan.
“Tak hanya tugas Bapenda Lampung. Sebaiknya langsung
Gubernur, sekaligus memberikan bukti keseriusan Gubernur terhadap program
pemutihan dan kepedulian terhadap rakyat selaku wajib pajak. Gubernur jangan
berjarak dengan rakyatnya,” tandas Dedy.
Lemahnya pengawasan dan minimnya sosialisasi dari Bapenda
Lampung kini menjadi sorotan utama. Pelaksanaan yang inkonsisten dan
membingungkan justru mencederai semangat program yang seharusnya meringankan
masyarakat.
Ketidakterpaduan antara narasi politik dan teknis
birokrasi ini menjadi sinyal kegagalan koordinasi internal.
Jika tidak segera dievaluasi, program pemutihan yang
digadang sebagai solusi bisa berubah menjadi sumber krisis kepercayaan publik
terhadap pemerintah daerah, khususnya terhadap Bapenda sebagai instansi teknis
pelaksana.
Saat harapan publik dikhianati oleh praktik di lapangan,
maka sudah sepatutnya Bapenda Lampung diminta bertanggung jawab. Janji tak
boleh berhenti di baliho atau pidato, tapi harus diwujudkan dengan sistem yang
adil, transparan, dan berpihak pada rakyat. (ant/Red)