Advertisement
Bandar Lampung (Pikiran Lampung) - Luar biasa. Indonesia kembali membuktikan bahwa semangat juang saja belum cukup untuk menang — tapi setidaknya bisa jadi hiburan nasional. Melawan Arab Saudi, kita sempat unggul, sempat bikin deg-degan, dan tentu saja... semangat itu kembali kandas di momen-momen krusial.
Dua penalti Kevin Diks? Mantap. Artinya, setidaknya kita sudah punya algojo yang tenang. Tapi di balik itu, lini belakang kita seperti sedang mengikuti lomba “Siapa yang paling panik di kotak penalti”. Tiga gol bersarang dengan cara yang bisa jadi bahan evaluasi abadi — atau sekadar bahan konten motivasi minggu depan.
Pelatih bisa saja berkata, “Kami sudah tampil bagus, hanya kurang beruntung., saya bangga dengan pemain, dengan usaha yang mereka lakukan”
Tentu saja, kalimat klasik itu memang wajib diucapkan setiap kali kalah. Padahal kalau dipikir-pikir, nasib baik biasanya datang ke tim yang rapi, bukan yang panik.
Arab Saudi tak bermain spektakuler, tapi mereka tahu kapan harus menghukum kesalahan lawan. Indonesia? Seperti biasa, menghukum diri sendiri dengan pertahanan yang longgar dan koordinasi yang hilang di waktu yang tidak tepat.
Pertahanan Indonesia tampak kompak — sayangnya kompak dalam salah posisi. Arab Saudi bahkan tak perlu tampil menekan habis-habisan; cukup menunggu momen ketika pemain belakang kita kehilangan fokus, dan voilà, bola bersarang. Satu gol pinalti dan dua dari kesalahan lini belakang, semua lahir dari kombinasi klasik: panik dan salah langkah.
Namun mari kita hargai semangat juang para pemain. Mereka berlari, mereka berusaha, dan mereka... ya, tetap kalah. Tapi bukankah itu sudah cukup untuk dijadikan narasi “kita sudah berprogres”? Toh, di negeri ini, performa bagus tapi kalah lebih dihargai daripada menang dengan cara membosankan.
Indonesia melawan Arab Saudi. Skor akhir: 2–3. Sekilas, ini hanya pertandingan sepak bola. Tapi kalau dicermati, ini adalah cermin kecil dari kebiasaan besar bangsa ini: nyaris hebat, nyaris menang, nyaris dewasa.
Indonesia hari ini bukan tim yang buruk — justru sebaliknya, tim yang punya potensi besar tapi terjebak dalam kebiasaan kecil. Kita bangga karena melawan dengan gagah, tapi melupakan bahwa keberanian tanpa ketepatan hanyalah romantisme kekalahan.
Mungkin ini bukan soal bola semata.Ini tentang bangsa yang gemar merayakan perjuangan, tapi malas mengukur hasil. Kita senang disebut petarung, tapi belum siap jadi pemenang. Dan begitulah: setiap pertandingan, setiap periode, setiap generasi — kita masih menjadi bangsa yang nyaris menang.(*)