Oleh : Gunawan Handoko
Mantan Aktivis Pemuda, tinggal di Bandar Lampung

KEGAGALAN Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam melakukan pemberontakan dan penghianatan pada 30 September 1965  lalu, kembali menunjukkan kesaktian Pancasila sebagai ideologi negara. Karenanya, kita harus terus berjuang menjadikan Pancasila Sakti, yakni Pancasila yang selalu hidup dalam kenyataan sehari-hari.

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang dikenal dengan sebutan pemberontakan G 30 S/PKI merupakan peristiwa berdarah paling sadis sekaligus sejarah kelam bagi bangsa Indonesia. Pada saat berdirinya negara Republik Indonesia, semua sepakat mendasarkan diri pada ideologi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam mengatur dan menjalankan kehidupan negara. Namun sejak November 1945 sampai sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Pemerintah Indonesia mengubah haluan politiknya dengan mempraktikkan sistem demokrasi liberal. Dengan mengubah kebijakan ini berarti menggerakkan ‘pendelum’ (bandul jam) untuk bergeser ke kanan dan Pemerintah Indonesia menjadi pro liberalisme. Deviasi ini kemudian dikoreksi dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berarti bahwa haluan politik negara kembali berubah. Pendelum yang semula posisinya di samping kanan di geser dan digerakkan lagi ke kiri.

Kebijakanan ini sangat menguntungkan dan dimanfaatkan oleh kekuatan politik di Indonesia yang berhaluan kiri, hal ini nampak pada kebijakan Pemerintah yang anti terhadap Barat (kapitalisme) dan pro ke Kiri dengan dibuatnya poros Jakarta – Peking dan Jakarta – Pyong Yang. Puncaknya adalah meletusnya peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965 yang didalangi oleh PKI. Peristiwa berdarah yang dilakukan PKI tersebut menjadi pemicu tumbangnya pemerintahan Orde Lama dan berkuasanya pemerintahan Orde Baru.

Pemerintahanan Orde Baru berusaha mengoreksi segala penyimpangan yang telah dilakukan oleh rezim sebelumnya di dalam pengamalan Pancasila dan UUD 1945. Selanjutnya Pemerintah Orde baru merubah haluan politik yang sebelumnya mengarah ke posisi Kiri dan anti Barat, kemudian menariknya kembali ke posisi Kanan. Namun rezim Orde Baru pun kemudian dianggap menyimpang dari garis politik Pancasila dan UUD 1945 yang cenderung menumbuhkan liberalisme dan kapitalistik dalam mengelola negara. Sehingga pada tahun 1998 muncullah gerakan reformasi yang dahsyat dan berhasil mengakhiri 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Di tilik dari perjalanan sejarah dari waktu ke waktu, Pancasila memiliki posisi yang bervariasi di dalam struktur negara dan bangsa Indonesia, yakni sebagai dasar negara, ideologi nasional, pandangan hidup dan pemersatu bangsa. Semua ini berbasis pada konsep nilai 4 konsensus bangsa, yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.
Jujur harus diakui, setelah runtuhnya Orde Baru, Pancasila mulai dilupakan dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Munculnya perilaku separatisme, konflik bermotif SARA, kebebasan media massa, korupsi di berbagai lembaga Pemerintah di semua tingkatan, melemahnya keteladanan adalah bukti menurunnya nilai-nilai Pancasila. Padahal secara historis dalam konteks pendidikan nasional, tidak dapat dipungkiri bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa mengalami fluktuasi tafsiran dari setiap orde. Bukan hanya masa Orde Baru yang selama ini dianggap paling getol memberikan tafsir, namun juga sudah di mulai sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno. Namun tetap saja Pancasila tidak melekat pada jiwa dan darah bangsa Indonesia, khususnya anak-anak muda. Sejak reformasi 1998 Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tidak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah-olah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan dan di bahas, baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi, justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik. Para politisi tidak lagi memperhatikan etika dan esensinya dalam berpolitik. Politik bukan lagi sebagai usaha dan ihtiar untuk mengusahakan kesejahteraan bersama dalam tata sosial yang lebih baik, namun berubah menjadi pertikaian rebut kekuasaan dan adu kepentingan untuk memenangkan hasrat berkuasa. Politik tanpa etika saat ini menggejala tajam, segala cara dilakukan demi untuk mencapai ambisi kekuasaan.
Maka tidak perlu heran apabila bangsa Indonesia mengalami krisis multi dimensional yang berkepanjangan yang disebabkan oleh faktor politik, sosial, agama maupun ekonomi. Juga krisis kepercayaan pada Pemerintah yang berujung pada maraknya aksi demonstrasi, upaya pemaksaan kehendak yang berujung pada kerusuhan dan kekerasan. Realitas ini tentu sangat berbenturan dengan nilai-nilai luhur Pancasila sekaligus sebagai bentuk pengingkaran konkret terhadap komitmen kebangsaan yang telah puluhan tahun terbentuk. Dengan kondisi yang multi kultural, Indonesia selalu terlibat konflik dan kekerasan sosial yang di picu perbedaan latar belakang etnis, agama dan primodialisme. Padahal di masa lalu bangsa Indonesia di kenal sebagai bangsa yang memiliki sikap toleransi dan gotong royong yang menjadi karakter asli bangsa ini. Namun saat ini memudar karena penetrasi pemikiran dan tindakan pragmatis pada diri orang per orang. Peran lembaga-lembaga tradisional seperti tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat yang di masa lalu sangat berpengaruh di dalam menciptakan suasana kondusif ditengah-tengah masyarakat, kini sudah hilang. Harus kita akui bahwa demoralisasi telah melanda negeri ini, dimana nilai-nilai moral telah semakin menipis. Rasa nasionalisme masyarakat Indonesia saat ini mengalami ambiguitas, yang pada akhirnya terjadi degradasi nasionalisme. Fakta lain yakni kinerja Pemerintah tidak secara profesional dan sungguh-sungguh untuk mengembalikan semangat persatuan dan nasionalisme. Perlu pengakuan secara jujur bahwa kita telah banyak kehilangan jati diri bangsa. Hari ini bangsa Indonesia sedang mengalami patologi sosial yang amat kronis. Sebagian besar masyarakat kita telah tercerabut dari peradaban easterisasi atau ketimuran yang beradab, santun dan beragama. Dengan dalih demi kepentingan rakyat, para elite politik saling melampiaskan dendam politiknya dengan melakukan kritik dan hujatan terhadap lawan politiknya. Media massa yang diharapkan dapat menjadi lembaga independen dan sumber informasi yang benar dan berimbang, nampaknya sulit diharapkan. Rakyatpun menjadi bingung, sosok mana yang pantas menjadi figur pemimpin karena yang mengaku tokoh pun kerjanya hanya mengkritik dan menghujat. Kita seperti sedang berjalan di alam yang gelap gulita, satu sama lain saling bertabrakan atau sengaja untuk bertabrakan. Mengapa semua bisa terjadi? Jawabnya adalah bahwa kita telah meninggalkan Pancasila sebagai pandangan hidup.

Post A Comment: