Warga Aceh  membajiri pasar daging saat menjelang Ramadan. foto ist
Aceh– Beberapa hari lagi umat muslim akan menyambut tamu ‘Istimewa’. Yakni Bulan suci Ramadan. Di Indonesia, bulan yang diyakini penuh berkah dan ampunan ini disambut antusias oleh warga. Namun, setiap daerah berbeda cara dalam menyambut bulan suci ini. Bila di Provinsi Lampung ada tradisi Belangiran, maka masyarakat Aceh atau biasa juga disebut Serambi Mekah memiliki tradisi unik dalam menyambut bulan Ramadan. Namanya meugang atau makmeugang yaitu tradisi membeli daging, memasak, kemudian menyantapnya bersama keluarga. Tradisi unik ini dirayakan secara turun-temurun pada dua atau sehari menjelang masuknya bulan suci.
Pada pagi meugang , warga berbondong-bondong menyerbu lapak-lapak penjual daging yang khusus pada hari itu tumbuh hampir di sejumlah lokasi. Ruas jalan kerap macet karena warga berkerumum di meja-meja penjual daging. Suasanan seperti ini terjadi di seantero Aceh.

Aktivitas perekonomian di pasar-pasar tradisional begitu hidup dengan warga yang berbalanja aneka kebutuhan pokok dan larut dalam kemeriahan meugang.
Sebaliknya, perkantoran sepi di hari meugang, begitu juga sekolah-sekolah diliburkan agar guru dan siswa bisa menikmati tradisi ini dengan keluarganya. Orang yang merantau biasanya juga mudik agar bisa berkumpul bersama keluarganya saat meugang, sekaligus menyambut Ramadan.
Ribuan sapi dan kerbau dipotong untuk menutupi tingginya permintaan daging hari meugang. Jauh sebelumnya, peternak lokal sudah menyiapkan hewan siap potong. Ternak yang sudah disembelih secara Islami pada dini hari, dagingnya langsung digantung di meja-meja penjual daging. Begitu matahari terbit, warga terus berdatangan ke lapak penjual. Daging sapi lokal jadi primadona ketimbang sapi impor, karena dagingnya lebih padat dan alami.
Tingginya permintaan di hari meugang membuat harga daging melambung gila-gilaan. Jika hari biasa harga daging Rp85-110 ribu per kilogram, saat meugang seperti tahun ini tembus Rp150-200 ribu per kilogram. Ini harga daging termahal di Indonesia.
Menurut pedagang, mahalnya harga daging saat meugang dipicu dari tingginya harga sapi atau kerbau lokal yang banyak dipotong saat meugang. Namun, harga mahal bukan persoalan bagi warga untuk tidak membeli daging saat meugang, karena tradisi ini sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Bagi masyarakat di Aceh, hari meugang tanpa membeli atau makan daging rasanya tak lengkap. Kaya miskin seakan wajib memilikinya. Orang kaya biasanya membeli daging dengan jumlah banyak kemudian menyumbangnya ke keluarga kurang mampu atau anak yatim di sekelilingnya. Bagi mampelai pria, akan jadi aib besar kalau meugang tak membeli daging untuk mertuanya. Sebaliknya akan menjadi kebanggaan keluarga jika ia membawa pulang kepala sapi atau kerbau.

“Kalau tidak membeli daging waktu meugang rasanya tidak sah masuk (bulan) puasa besok, walau pun enggak ada uang orang kadang rela utangan dulu yang penting keluarga bisa makan daging,” ujar Safari Daud, salah satu tokoh Aceh di Lampung, kemarin.
Daging yang dibeli kemudian dimasak dengan aneka bumbu rempah-rempah khas Aceh. Selanjutnya, disantap bersama keluarga. Khusus hari ini, hingga sahur nanti, menu utama sebagai lauk nasi di rumah-rumah warga adalah masakan daging. Di beberapa daerah, seperti di pesisir barat selatan Aceh, warga menyantap daging bersama-sama di pantai.
Warga Aceh saat bersama -sama memotong hrwan ternak jelang Ramadan. foto ist 
Di kampung-kampung yang adatnya masih kuat, para orangtua akan melarang anaknya bermain ke rumah tetangga di hari meugang, karena mereka diwajibkan makan di rumah sendiri bersama keluarga.
Daging yang dimakan mengandung zat besi, protein, vitamin B kompleks, zink dan omega dipercaya bisa menambah tenaga dan fisik untuk berpuasa esok hari.
Meugang di Aceh bukan hanya diperingati menjelang bulan suci Ramadan saja. Tradisi ini juga selalu dilakoni sehari atau dua hari menjelang Idul Fitri atau Idul Adha. Namun, tradisi meugang menjelang puasa lebih meriah dibanding meugang Lebaran.

“Kalau dulu di kampung-kampung, jauh hari sebelum bulan puasa masyarakat sudah membersihkan halaman rumah dan mencari kayu bakar ke gunung untuk bahan bakar memasak hari meugang dan puasa,” kata Ketua Majelis Adat Aceh, Badruzzaman Ismail, beberapa waktu lalu.   

Tradisi Meugang atau disebut juga Mameugang diyakini telah dijalankan sejak masa Kesultanan Aceh, yang dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda. Ketika itu, Sultan Iskandar Muda memerintahkan kepada anak buahnya memotong sapi dan membagikan dagingnya kepada kaum fakir miskin, seperti dijelaskan oleh Ketua Majelis Adat Aceh (MAA), Badruzzaman.
“Sapi disembelih kemudian dibagi dagingnya menjadi tumpukan kecil yang isinya memuat semua bagian tubuh hewan, jadi intinya bukan di beratnya tapi di komponen dagingnya yang mencerminkan keadilan,” jelas Badruzzaman.
Kesultanan Aceh Darussalam pada abad ke-16 sampai 17 merupakan kerajaan Islam terbesar di Asia Tenggara, sehingga tradisi Meugang tak lepas juga dari ajaran Islam, kata Misri A Muchsin, dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry.
“Meugang itu sebenarnya adalah dalam rangka untuk menyambut Ramadan. Memang diprogramkan dari kerajaan agak besar-besaran, bagaimana memakmurkan masyarakat dan sesuai dengan hadis tentang menyambut Ramadan dengan suka cita,” jelas Misri.
Dalam perjalanannya tradisi Meugang tak lagi menjadi "program pemerintah" tetapi masyarakat dan juga menggerakkan ekonomi dengan munculnya pasar daging musiman. (okz/p1)

Post A Comment: