Bandarlampung (Pikirah Lampung)- Rencana pemkot Bandarlampung melalui Walikota Eva Diana yang akan bangun lokasi pariwisata bernama China Town ditentang keras oleh warga di kota tersebut. 

Dimana, Pusat Studi Kajian Sejarah Budaya Lampung (PUSKAMBL) menilai Pemerintah Kota (Pemkot) Bandar Lampung kehilangan akal dan kurang menghargai kearifan lokal. Pasalnya rencana pembangunan Lokasi wisata nuansa Thionghoa dengan nama China Town tidak mencerminkan akar budaya Lampung dari Kota yang dikenal dengan Julukan Tapis Berseri.

“Ini Lampung atau Negeri China ya, kok pemikiran Dinas Pariwisata tidak sesuai dengan program pemerintah daerah yang sedang gencar mengenalkan budaya kearifan lokal,” tegas Yurdhis Mahendra dilansir dari kbninewstex.com, Sabtu (21/10).

Dinas Pariwisata sambungnya cenderung tidak menghargai adanya Majelias Adat Penyimbang Adat Lampung (MPAL).Semestinya dinas terkait berupaya meminta pendapat MPAl atau tokoh Budaya lain dan ahli cagar budaya dalam mementukan nama tempat wisata yang seharusnya mencerminkan budaya lokal, apalagi itu alokasi anggaran dari APBD Pemkot Bandar Lampung.

“Jika Pemkot Bandar Lampung kehilangan akal dalam mencari nama untuk kawasan wisata baru yang tengah direncanakan, sebaiknya bertanya kepada sesepuh adat di Lampung.Kan ada Majelis Penyimbang Adat Lampung, atau tanya ke tim ahli cagar budaya (TACB),”kata Yuridis yang akarab disapa Idris Abung.


Dia mengatakan selama ini, baik Pemkot Bandar Lampung maupun Pemprov Lampung memang tidak serius dalam urusan pelestarian budaya, cagar budaya hingga pembuatan aturan regulasi yang juga bagian dari turunan UU Nomor 10 tentang Cagar Budaya dalam bentuk peraturan daerah (perda).

“Kalau di Lampung ini sudah ada aturan atau regulasi tentang pelestarian budaya, perlindungan budaya, coba sampaikan, perda nomor berapa dan kabupaten atau kota mana yang sudah memilikinya,” lanjutnya sambil mengurai, jika pelestarian nilai budaya lokal di Lampung seperti orang latah atau kaget semata.

Mengevaluasi atas berbagai kebijakan Pemkot Bandar Lampung maupun Pemprov Lampung, Idris Abung terang-terangan menilai bila Lampung saat ini darurat nilai budaya.

Apa buktinya? “Tidak usah jauh-jauh melihatnya. Urusan lokasi wisata bernuansa Lampung dari aturannya saja dululah. Itu saja banyak tidak jelas, malah dengan adanya perilaku seperti itu saya menilai seakan sengaja menciptakan kondisi kalau bisa mari kita hilangkan sejarah asli,” urainya.

Ditegaskan, ia berbicara seperti ini bukan berarti menghilangkan hubungan Lampung dan China. Tetapi semata-mata agar kearifan budaya lokal tetap dapat ditonjolkan.

“Dengan penggunaan nama Chinatown ini, sama sekali tidak mengandung unsur nilai kearifan lokal. Itu sama saja pelan-pelan menghilangkan jejak sejarah di Lampung, sedangkan di lokasi yang dinamai Chinatown, ada masjid tertua di provinsi ini. Sehingga kurang elok dengan penamaan Chinatown,” terang Idris Abung.

Menurutnya, kawasan wisata itu nanti sebaiknya menggunakan nama kebuaiyan yang ada di Lampung. Seperti yang terdapat di Abung Siwo Mego, Mego Pak, Pubian Telu Suku, atau Kepaksian Pak Skala Brak

“Menurut saya, itu lebih bermakna. Atau menggunakan nama yang mengisahkan tentang kejadian pada 20 Mei 1883 meletusnya Gunung Krakatau. Lokasi kawasan wisata itu kan berdekatan dengan Taman Dipangga, yang meninggalkan jejak dahsyatnya letusan gunung itu sendiri,” katanya lagi.

Dengan penamaan khas daerah, jelas Idris Abung, bisa memberikan nilai edukasi kepada masyarakat luas, jika Lampung kaya dengan sejarah nilai budaya. Mulai dari lima falsafah masyarakatnya, tatanan kehidupannya, dan lainnya, yang pada akhirnya memberikan nilai kecintaan masyarakat kepada Lampung itu sendiri.

“Pemkot seharusnya jangan mengajarkan warganya tidak konsisten dalam melestarikan nilai budaya, sebab dengan menggunakan nama di luar kearifan lokal, jelas menunjukkan bila pemkot tidak mencintai nilai kearifan lokal. Dan jika nama Chinatown tetap dipertahankan, itulah bukti Pemkot Bandar Lampung gagap terhadap kearifan lokal budayanya sendiri,”tandasnya.(bunk) 

Post A Comment: