![]() |
Add caption |
BANDAR LAMPUNG -- Peran perguruan tinggi
dalam UU Nomor 18 Tahun 2002 adalah membentuk sumber daya manusia dalam hal
ilmu pengetahuan dan teknologi. Kehadiran perguruan tinggi pun harus bermanfaat
untuk masyarakat.
"Kami berharap Lampung bisa menjadi
destinasi pendidikan di Indonesia," kata Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi
Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah II-B Lampung Ir. Hi. Firmansyah Y. Alfian,
MBA., M.Sc, saat memberikan sambutan acara Rapat Kerja Aptisi Wilayah II-B
Lampung di auditorium Pascasarjana Universitas Bandar Lampung, Jumat
(17/11/2017).
Menurut dia, Aptisi Wilayah II-B Lampung
saat ini terdiri dari delapan universitas, satu institut, 37 sekolah tinggi,
satu politeknik, dan 33 akademi. Sebagai ketua, Firmansyah selalu bekerja keras
untuk kemajuan perguruan tinggi swasta di Lampung. "Kualitas pendidikan
harus meningkat," kata dia.
Menghadapi era globalisasi seperti ini,
arus informasi sangat kuat. Ia ingin perguruan tinggi swasta di Lampung paling
tidak bisa sejajar dengan daerah lain. "Target menjadi destinasi
pendidikan di Indonesia," kata Rektor Institut Informatika dan Bisnis
(IIB) Darmajaya itu.
Dia juga mengatakan pendidikan berkualitas
sangat penting. Terlebih pasca-diberlakukannya MEA 2015. Jika pendidikan di
Lampung tidak berkualitas maka bukan tidak memungkinkan akan hilang.
"Apalagi sudah era digital," kata dia.
Pendidikan ke depan, kata Firmansyah,
harus berbasis riset yang diikuti proses investasi. Dengan demikian, kata dia,
pendidikan tidak sekedar mengulang materi ajar atau menghafal. Namun, lebih
kepada pembelajaran yang produktif.
Ia berharap rapat kerja Aptisi ini mampu
menghasilkan rekomendasi yang baik bagi semuanya. Angota Aptisi pun harus
bersatu menyatukan visi dan misi. "Tentunya ini untuk sumber daya manusia
yang semakin baik," kata dia.
Sementara
itu, Ketua Aptisi Pusat M. Budi Djatmiko mengatakan era keterbukaan informasi
belakangan ini sangat pesat perkembangannya. Di belahan dunia manapun bisa
dilihat hanya dengan sekali klik. Namun, keterbukaan informasi dan perkembangan
dunia digital tersebut membawa dampak negatif.
Dunia saat ini tengah mengalami digital
destruction, atau kekacauan digital. Di mana saat ini sudah banyak pekerja yang
dilakukan bukan oleh manusia, melainkan mesin. "Bahkan, sudah ada robot
yang sangat mirip dengan manusia," Budi Djatmiko.
Ia meramalkan pada 10-15 tahun kedepan
semua akan serba digital. Perguruan tinggi konvensional jika tidak segera
beradaptasi akan mati. "Digital sangat cepat berubahnya," kata dia.
Ia pun saat ini tengah mengusulkan adanya
revolusi pendidikan di Indonesia, khususnya perguruan tinggi. Revolusi
pendidikan yang dimaksud ialah pembatasan penerimaan mahasiswa Perguruan Tinggi
Negeri (PTN). Ini dilakukan agar mahasiswa PTN benar-benar saringan dan
berkualitas baik.
Mahasiswa PTN nantinya bisa diproyeksikan
untuk berbagai ajang internasional. Sementara Perguruan Tinggi Swasta (PTS)
yang besar bisa mengimbangi PTN. "PTS yang kecil bisa mewarnai," kata
dia.
Namun, melihat kondisi Indonesia yang
serba pragmatis, ia sedikit pesimis. Indonesia, kata dia, ibarat negara amplop.
Segala sesuatu akan hebat dan kuat dengan amplop. "Semua selesai dengan
amplop," kata dia.
Bahkan, kata Budi, hanya untuk membuat
izin program studi pun bisa memakan waktu sampai delapan tahun. Perizinan
dengan amplop selesai sekitar empat tahun. "Tetap lama, ketinggalan jauh
dengan negara lain," kata Budi. (**)
Post A Comment: