Jakarta (Pikiran Lampung) - Mahkamah Konstitusi menegaskan kembali bahwa ketentuan Pasal 458 ayat (13) UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, 

Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Bawaslu adalah merupakan keputusan Pejabat TUN yang bersifat konkret, individual, dan final yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan TUN. Putusan itu dibacakan langsung oleh majelis hakim MK dengan perkara Nomor 32/PUU-XIX/2021 pada hari Selasa tanggal 29 Maret 2022.

"Putusan tegaskan kembali bahwa kedudukan penyelenggara pemilu semuanya sejajar dan tidak ada diantaranya yang memiliki kedudukan superior," ujar Kuasa hukum Pengujian Undang- undang Pemilu Fauzi Heri didampingi Juendi Leksa Utama saat mengelar konferensi pers di kantornya jalan Bintara II Sukarame, Bandar Lampung.


Dalam pendiriannya, Mahkamah menyatakan DKPP bukanlah lembaga peradilan dan DKPP sebagaimana KPU dan Bawaslu merupakan penyelenggara pemilu yang memiliki kedudukan setara.

Selain itu, Fauzi menyampaikan ketiga lembaga penyelenggara tersebut mempunyai kedudukan yang sederajat dan tidak ada satu diantaranya memiliki kedudukan yang superior. 

Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah  mengingatkan kepada seluruh pemangku kepentingan, bahwa frasa final dan mengikat dalam Pasal 458 ayat (13) dimaksudkan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah merupakan keputusan Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang bersifat konkret, individual, dan final yang dapat menjadi objek gugatan di peradilan TUN.  

Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum MK tersebut, maka terhadap Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu harus melaksanakan putusan DKPP tersebut dan keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga yang menindaklanjuti putusan DKPP dapat dijadikan objek gugatan oleh pihak yang tidak menerima putusan DKPP dimaksud dengan mengajukan gugatan di pengadilan TUN. 

Oleh karena itu terhadap putusan pengadilan TUN yang telah memiliki hukum tetap harus dipatuhi dan menjadi putusan badan peradilan yang memiliki kekuatan eksekutorial.  

Dengan kata lain yang dimaksud final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah bahwa Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu hanya menindaklanjuti putusan DKPP yang produknya dapat menjadi objek gugatan dalam peradilan TUN. 

Sehingga dalam konteks ini, Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu tidak mempunyai kewenangan untuk memiliki pendapat yang berbeda yang bertentangan dengan putusan DKPP ataupun putusan TUN yang mengkoreksi ataupun menguatkan putusan DKPP. 

Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi beranggapan dalil-dalil Para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Dalam konklusinya Mahkamah berkesimpulan bahwa Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan yang diajukan Para Pemohon, Para Pemohon memiliki kedudukan hukum, Pokok Permohonan beralasan menurut hukum untuk Sebagian, Mahkamah menegaskan kembali putusan Nomor 31/PUU-XI/2013. 

Selanjutnya Mahkamah Konstitusi menetapkan amar putusan:  

1. Mengabulkan permohonan Para Peohon untuk sebagian,  

2. Menyatakan ketentuan Pasal 458 ayat (13) UU Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Bawaslu adalah merupakan keputusan Pejabat TUN yang bersifat konkret, individual, dan final yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan TUN”. 

3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia. 

4. Menolak permohonan Para Pemohon selain dan selebihnya. (leksa)

Post A Comment: